Iklan

ILMU HADITS


A.    Pengetian Hadish

            Ilmu Hadis ( ‘Ulum Al-Hadish ), secara kebahasan berarti ilmu-ilmu tentang hadish. Kata ulum adalah kata jamak dari kata ‘ilm ( ilmu ), sedangkan hadish itu sendiri ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi  Muhammad Saw baik dair perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.
            Secara etimologi, seperti yang telah diungkapan oleh As-Suyuthi, ilmu hadish adalah ”Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadish sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Dari segi hal ikhwall para rawinya, yang menyangkut ke-dhabi-an dan ke-adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainnya.”

            Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadish adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaaan atau sifat para perowi dan yang diriwayatkan.  Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadish. Bagaimana sifat-sifat mereka  bertemu langsung dengan  pembawa berita atau tidak, bagaiman kejujuran dan keadilan mereka dan bagaiman daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah.
            Sedangkan maksud yang diriwayatkan ( Marwi ) terkadang guru-guru perowi  yang membawa berita dalam sanad suatu hadish atau isi berita ( matan )yang diriwayatkan , apakah terjadi keganjilan atau jika dibandingkan dengan sanad atau matan perowi yang lebih kredibel ( tsiqoh ). Dengan mengetahuai tersebut dapat diketahui mana hadish hadish yang shohih dan yang tidak shohih. Ilmu yang berbicara tentang ha itu disebut ilmu hadish.
            Secara garis besar, ulama hadish mengelompokan ilmu hadish tersebut kedalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadish riwayah dan ilmu hadish dirayah.

1.      Hadish Riwayah
            Menurut bahasa riwayah berasal dari akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql yaitu memindahkan , menuklir. Dan kata riwayah dapat diartikan periwatan atau cerita. Ilmu hadish riwayah , secara bahasa, berarti ilmu hadish yang berupa periwayatan.
            Para ulama berbeda-beda  dalam mendefinisikan ilmu hadish riwayah, namun yang paling terkenal dari definisi-definisi tersebut adalah  definisi Ibnu Al-Akhfani, yatu ; “Ilmu hadish riwayah adalah ilmu-ilmu yang memperlajari tentang ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi Saw, periwayatnya, pencatatnya, dan penelitian lafazhnya.”
Definisi dari Dr. Shubhi Ash-Shalih ialah:
“Ilmu hadish riwayah adalah ilmu hadish yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat dan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.”
            Kedua definisi diatas memberi konotasi makna yang sama yakni objek pembahasannya adalah perkataan Nabi  atau perbuatannya daam bentuk periwayatan tidak semata-mata datang sndiri. Di sini berarti fokusnya kepada matan atau isi hadish yang disandarkan keada Nabi Muhammad Saw atau juga disandarkan kepada sahabat dan tabi’in menurut definisi yang pertama. Oleh karena itu, ilmu ini disebut ilmu riiwayah, karena semata-mata hanya meriwayatkan apa yang disandarkan kepada Nabi. Periwayatan hadish dari Nabi  atau dapat dikatakan dari fokus pembicaraan  hanya pada periwayatan yang menyangkut diri Nabi dari segala aspek tersebut. Tentunya kata periwayatan menyangkut siapa yang menjadi para perowi ( rawi ) dari siapa ia meriwayatkansuau berita ( marwi’anhu), dan apa isi berita yang diriwayatkan ( marwi). Dengan demikian ilmu hadish riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu diriwayatkantanpa mempersyaratkan shohih atau tidaknyasuatu periwayatan. Ilmu yang membahas diterima atau tidaknya suatu periwayatan bukan bagian Ilmu Hadish Riwayah.
            Fokus pembahsan Ilmu Hadish riwayah atau penekanan pembahasannya memang matan yang diriwayatkan itu sendiri, karena memang perkataan dan perbuatan rosul itu adanya pada matan. Namun matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya, bahkan sebagian ulama mengtakan bahwa rukun hadish itu sendiri dari sanad dan matan. Jika ada redaksi matan tanpa disertai  sanad maka tidak akan dikatakan hadish , begitu juga sebaliknya. Dengan demikian perkembangan Ilmu hadish Riwayah tidak bisa lepas dari Ilmu hadish Dirayah.
            Objek kajian Ilmu hadish diwayah adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, sahabat, tabi’in, yang meliputi :
a.       Cara periwayatannya , yakni cara penerimaan dan penyampaian hadish dari seorang periwayat ( rawi) kepada periwayat lain.
b.      Cara pemeliharaan,yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan hadish. Ilmu ini tidak membicarakan hadish dari sudut kualitasnya.
            Ilmu hadish Riwayah bertujuan memelihara hadish Nabi Saw. Dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini bertujuan agar umat Islam menjadikan nabi Muhammad Saw sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayah yang berasal darinya dan mengamalkannya.
            Pendiri Ilmu hadish Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w.124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaj) dan Syam (suriah). Dalam sejarah perkembangan ilmu hadish tercatat beliau adalah orang pertama yang melakukan penghimpunan Ilmu Hadish riwayah secara formal berdasarkan intruksi khlifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II.
            Ilmu hadish riwayah ini sudah ada sejak peiode Rosulullah Saw, bersama dengan dimulainya periwayatan hadish itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian tinggi terhadap hadish nabi Muhamad Saw. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majlis Rosulullah Saw. Dan mendengar serata menyimak pesan atau wasiat yang disampaikan  nabi Muhammad Saw.
            Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rosullah Saw, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, serta akhlak Nabi Muhamad Saw sehari. Semua itu mereka fahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka. Selanjutnya, mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiinpun melakukan hal yang sama,memahami hadish, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabiat tabiin.
            Demikianlah, periwayatan dan pemeliharaan hadish Nabi Saw, berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh Az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, pembukuan hadish besar-besaran dilakukan oleh ulama hadish pada abad ke-3 h, seperti Imam al-Bukhori,Imam Muslim,Imam Tirmizi, Imam Abu Daud dan lain-lain.
Mampaat mempelajari mempelajari Ilmu Hadish Riwayah diantaranya adalah :
1.      Memelihara hadish secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam setiap periwayatan.
2.      Memelihara kemurnian Syari’ah Islamiyah karena hadish atau sunnah adalah sumber hukum ke-2 setelah Al-qur’an.
3.      Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
4.      Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi karena Tingkah laku dan Akhlak beliau secara terperinci dimuat dalam hadish.
5.      Melaksanakan hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena seseorang tidak mungkin mampu memelihara hadish sebagai sumber syari’at Islam tanpa  mempelajari ilmu riwayah ini.
2.      Ilmu Hadish Dirayah
            Istilah ilmu hadish dirayah, menurut As-Syuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Bagdadi, yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan ushul al-hadish, ulum al-hadish, musththalah hadish, dan qawa’id al-tahdits.
Masing –masing sebutan itu mempunyai filsafat makna yang berdekatan antara yang satu dan yang lain, Ulumul hadish ulum berbentuk plural dari ilmu berarti mencangkup beberapa ilmu hadish yang semula berserakan, seperti ilmu tentang biograi tokoh-tokoh hadish ( ilmu Rijal Al-Hadits), ilmu tentang Biografi periwayatan hadish ,ilmu tentang kata yang sulit dalam hadish, dll. Ushul Hadish ushul Ar-riwayah kaidah-kaidah yang dijadikan parameter dalam menilai hadish diteriam atau tidak suatu periwayatn hadish. Musththalah Al-hadish berbicara tantang istilah-istilah yang disepakati ahli  hadish.
Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah , yaitu :
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.”
Dan secara istilah :
“Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan syarat-syaratnya, macam-macamnya, dan hukum-hukumnya, keadaan para perowi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.”
      Dari pengetian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadish dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan , cara menerima dan menyampaikan hadish, sifat rawi, dan lain-lain.
      Sasaran hadish dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya dan turut memengaruhi kualitas ahdish tersebut. Kajian terhadap masalah-masalh yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad  (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karyang dibahas ilmu itu adalah (akurasi ) kebenaran jalur periwayatan, mulai sahabat sampaikan kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadish tersebut.
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut :
a.       Ittishal as-sanad ( persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersebunyi, tidak diketahui idetintasnya ( wahm), atau samar.
b.      Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl ( adil), dhabit ( cermat dan kuat), dan tsiqoh ( terpecaya) yang harus dimiliki oleh periwayat.
c.       Syadz, yakni keganjaln yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya hadish yang diriwayatkan oleh seorang tsiqoh, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadish yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqoh lain.
d.      ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi padu hadish yang tersembunyi pada suatu hadish yang kelihatannya baik dan sempurna. Syadz dan ‘illat adanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadish yang mendalam.
            Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn ( kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadish itu sendiri, yakni perkatan , perbuatan dan pernyataan / ketetapan Rasulullah Saw, pokok pembahasannya meliputi :
a.       Keganjalan-keganjalan dari segi redaksi.
b.      Fasad al-fa’na, yakni terdapat cacat atau keganjalan pada makna hadish karena kaerna bertentangan dengan al-hiss ( indra) dan akal, bertentangan dengan nash Al-Qur’an, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi Saw. Dan mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.
c.       Kata-kata Ghorib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.
            Dengan mengetahui ilmu hadish kita akan megetahui dan menetapkan maqbul ( diterima) dan mardad ( ditolak)-nya suatu hadish. Karena dalam perkembangannnya, hadish Nabi Saw. Telah dikacaukan dengan munculnya hadish-hadish palsu yang tidak saja oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelomok atau golongan. Oleh kaerna itu, ilmu dirayah ini  memiliki arti penting dalam pemeliharaan hadish Nabi Saw. Dengan hadish dirayah , kita dapat meneliti hadish man yang dapat dipercaya berasal daari Rosulullah Saw, yang shohih, dhoif, dan maudhu’ ( palsu ).
Untuk memperjelas perbedaan kedua ilmu tersebut berikut ini diberikan gambaran perbedaaan-perbedaan itu di dalam kolom.
1.      Tinjauan
2.      Ilmu Hadish Riwayah
3.      Ilmu Hadish Dirayah
4.      Objek Pembahasan
5.      Segala Perkataan, Perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw
6.      Hakikat, Sifat-sifat, dan Kaidah-kaidah dalam Periwayatan.
7.      Pendiri
8.      Muhamad Bin Syihab Az-Zuhri (w.124 H)
9.      Abu Muhamad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w.360 H)
10.  Tujuan
11.  Memelihara syariah Islam dan otentitas sunnah
12.  Meneliti hadish berdasarkan kaidah-kaidah atau persyaratan dalam periwayatan. 
13.  Faedah
14.  Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
15.  Mengetahui periwayatan yang diteriam ( maqbul) dan yang tertolak ( mardud ).

            Sekalipun perbedaan antara Ilmu Hadish Riwayah dan Dirayah, namun keduanya tidak dapat dipisahka antara satu dengan yang lainnya. Hubungan antara hadish riwayah dan dirayah adalah merupakan satu sistem yang tidak bisa dipisahkan antara satu denang lainnya ( syay’an mutalaziman). Seperti halnya hubungan antara ilmu tafsir dengan tafsir, usul fiqh dengan fiqh. Lahirnya ilmu hadish Riwayah tidak lepas dari peran ilmu hadish dirayah baik secara implisit maupun eksplisit. Diantara perannya adalah meriwayatkan, menghimpun, menelusuri, menfilter, dan mengklasipikasikan kepada berbagai tingkatan dan aneka macam, mana hadsh dan mana yang bukan hadish,  mana sabda Nabi  mana perkataan atau fatwa  sahabat, mana hadish  yangdi terima( Maqbul)  mana hadish yang tertolak ( Mardud). Sedangkan hadish riwayah sebagai produknya yang sudah matang dari peroses penulusuran tersebut, atau dalam kalimat lain ilmu dirayah sebai input, dan ilmu hadish riwayah sebagai output. Sebagai gambar hubungan kedua imu tersebut adalah sebagai berikut :                                                            

B.     Metode dan Pendekatan


            Dalam penelitian Sunnah atau Hadish, diperlakukan kritik yang baik yang berkenaan dengan sanad yang disebut kritik eksternal ( An-Naql Al-Khariji), dan kritik matan yang disbut kritik internal ( Al-Naql Ad-Dakhili ). Sanad dan matan inilah yang menjadi wilayah penelitian bidang hadish. Ada beberapa metode  pendekatan yang digunakan para peneliti dalam bidang hadish anatara lain sebaga berikut :
1.      Metode perbandingan ( Compatarative / Muqaranah )
            Dalam penelitian hadish perlu penulusuran suatu hadish dari berbagai buku induk ahdish agar mendapatkan dokumentasi  hadish secara utuh yakni sanad dan matannya sebagai upaya pengumpulan data.kemudian dari hasil penulusuran tersebut akan didapatkan sanad yang berbeda dan terkadang redaksi matannyapun juga berbeda sekalipun  maknanya sama. Para ahli akan mengolah dan menganalisa dokumentasi hadist terebut dari berbagai segi dengan cara membandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Disitulah terlihat seorang prowi yang genius dan memiliki daya ingat yang kuat periwayatannya sesuai dengan periwayatan perowi yang lain yang memiliki kredibilitas yang sama. Berbeda dengan seorang perowi yang lemah biasanya periwaaytannya  bertentangan atau kontara para perowiorang yang kuat. Metode komparatif bisa untuk menilai hadish perowi yang lemah dan perawi yang kuat, bersambung sanad, adanya cacat, dan lain-lain. Prof. M. Mustahafal Al-A’zhami mengatakan bahwa seajuh menyangkut kritik nash atu dokumen terdapat banyak metode erbandingan ( cross referent ). Dengan memperbandingkan antara suatu hadish dalam beberapa sanad dari berbagai buku sumber induk dapat ditemukan keontetikan sebuah hadish dan dapt diketahui perowi mana yang menyimpang.
2.      Metode Kualitatif Deskriptif
            Peneliian hadish tergolon penelitian kualitatif maka metode analisanya adalah deskriptif analisis yaitu dilakukan untuk melakukan semua komponen tersebut, baik yang berkaitan dengan sanad atau matan. Ace Suryadi dan A.R Tilaar menjellaskan bahwa tujuan pendekatan deskriptif ini adalah mengemukakan penafsiran yang benar secar ilmiyah mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum. Dalam penelitian hadish pada umumnya pendekatan ini digunakan dalam menjelaskan biogarafi seorang perawi hadish, mulai dari lahir sampai wafatnya, temapt tinggal,pendidikan , sifat-sifat  keadilan dan kecacatan, daya ingat dan hapalan yang dimiliki, termasuk tentang isi kandusng  matan hadish.
3.      Normatif
            Pendekatan normatif secara khusus dapat digunakan untuk menganalisis data dokumentasi hadish yang berkaitan dengan kritik internal( Ad-Dahili)  yakni krritik matan. Tolak ukurnya dalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadish yang lebih kuat, akal sehat, indra, sejarah, dan susunan bahasa. Pendekatan Normatif atu pendekatan preskriptif juga dapat digunakan dalam rangka pemecahan suatu masalah ( problem solving ), yaitu dengan meawarkan norma-norma , kaidah-kaidah dan resep-resep dalam dimens rasionalitas dan moralitas, aqli dan naqli sbagaimana yang telah disepakati oleh para ulama ilmu hadish.
4.      Pendekatan Historis
            Pendekat historis atau kesejarahan disgunakan dalam uang kritik ekternal yaitu sanad, karena sunnah adalah fakta sejarah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, sifat,dan pengakuan Nabi Saw. Para ahli berpendapat bahwa studi matan hadish atau ilmu hadish riwayatidak berarti jika tidak disertai dengan ilmu hadish dirayah, yaitu analisis kesejarahan terhadap perkataan dan perbuatan Rasul Saw, bahkan sifat-sifat dan  keadaan para transmitar ( perawi ) hadish dan matannya.
            Demikian juga Prof. Dr . thaha Ad-Dasuqi Hubaysyi ( guru besar Ilmu Hadist di Universitas Al-Azhar Mesir ) bependapat bahwa analisis historis atau sejarah merupakan keharusan bagi para peneliti dan transmitter hadish, karean tugas transmitter adalah menyampaikan imformasi dari beberapa generasi, sedang tugas peneliti adalah memeriksa sifat dan kondisi para transmiter tersebut. Hadish Nabi adalah sejarah hidup Nabi yang benar-benar terjadi, bukan angan-angan logis yang menetapkan ada atau tidaknya suatu perkara dan memerlukan eksperimen.
            Pendekatan histori mutlak digunakan dalam penelitian hadish atau sunnah karena hadish itu sendiri merupakan dokumentasi sejarah, baik sanad yang terdiri dari transmeter dari generasi ke generasi dari maupun matan isi itu sendiri. Sastono Kartodirdjo menekannkan bahwa apabila suatu penelitian masyarakat mengambil perspektif atau orientasi historis, maka bahan dokumenter mempunyai ari metodologis yang sangat penting.
            Keempat metode dan pendekatan diatas sangat diperlukan dalam penelitian hadish secara empiris sehingga daptat menemukan pemahaman yang besar terhadap hadish tersebut, baik kedudukannya sebagai sumber hukum Islam maupun sebagai ilmu pengetahuan dan kemajuan.

C.    Faedah Mempelajari Ilmu Hadish


            Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari Ilmu Hadish , tetapi yang sangat urgen diantaranya sebagai berikut :
a.       Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadish dalam penelitian hadish. Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadish, mana hadish dan mana yang bukan hadish.
b.      Mengetahui kaeedah-kaedah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring ( filterisasi) dan mengkalasifikasikan ke dalam beberapa macam baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadish, sehingga dapat menyimpulkan mana hadish yang diterima dan yang ditolak.
c.       Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang di tempuh para ulama dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadish, kemudian menghimpun dan mengkodfikasikannya kedalam berbagai kitab hadish.
d.      Mengenal tokoh-tokoh Ilmu Hadish baik dirayah maupun riwayah  yang mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadish sebagai hadish sebagai sumber syari’ah Islamiyah sehingga hadish terpelihara dari pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Seandainya terjadi hal tersebut maka merekapun dapat mengungkap dan meluruskan yang sebenarnya.
e.       Mengetahui hadish yang shohih , hasan, dho’if,  muttasil, mursal, munqhothi, mu’dhal, maqlub, masyhur, gharib, azizra dalam  mutawatir, dan lain-lain.
            Demikian pentingnyailmu hadish untuk dipelajari bagi semua umat islam terutam bagi yang ingin mempelajari ilmu agama secara sehingga tidak goyah goncangan iman yang meragukan otesititas hadish.

D.    Cabang – cabang Ilmu Hadish


            Dari ilmu hadish dirayah dan ilmu hadish riwayah itu, muncul cabang-cabang ilmu hadish lainnya, seperti ilmu rijal al-hadish, ilmu al-jarh wa at-ta’dil, ilmu fannil mubhamat, ilmu illahi al-hadish, ilmu ghorib alhadish, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu talfiq al-hadish, ilmu tashif wa at-tahrif, ilmu asbab al-wurud al-hadish, dan ilmu mushthalah ahli hadish.
            Secara singkat, cabang-cabang ilmu hadish tersebut akan kami uraikan dibawah ini :
1.      Ilmu Rijal Al-Hadish
            Ilmu Rijal Al-Hadish adalah ilmu yang membahas tentang hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba’ al tabiin, ulama hadish mendefinisikan ilmu rijal al-hadish , yaitu :

“ ilmu yang membahas para rawi hadish, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun dari generasi sesudahnya”
            Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting alam ranah kajian ilmu hadish karena kajian ilmu hadish pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal al-hadish mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad meupakan separuh dari pengetahuan.
            Bagian dari ilmu rijal al-hadish ini adalah ilmu tarikh rijal al-hadish. Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadish dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran ,nasab, atau garis keturunan, guru sumber hadish, jumlah hadish yang diriwayatkan, dan murid-muridnya.
            Diantara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadish ini adalah Al-istiab fi Ma’rifah Al-Ashab karya Ibnu Abdul Bar ( w.463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz As-Sahabah, Tahzib At-Tahzib karya Ibnu Hajar As-Saqalani, dan Tahzib Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusuf Bin Az-Zakki Al-Mizzi (w.742 H).
2.      Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil
            Pada dasarnya Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadish, namun karena ia dipandang sebagai bagian terpenting, ilmu ini dijadikan ilmu yang berdiri sendiri.
            Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata al-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan, jadi kata Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologi, ada ulama yang mendefinisikan secar terpisah antara istilah Al-Jahr dan  At-Ta’dil, namun ada juga yang menyatukannya.
Para ulam mendefinisikan Al-Jahr sbagai berikut


“ Jarh menurut Muhadditsin, adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya.”
Kemudian, para ulama hadish mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut.
“ Ta’dil adalah kebaikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumnya bahwa ia dhabit dan adil.”
Ulama lain mendefinisikan Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil sebagai berikut
“Ilmu yang membahas rawi hadish dari segi yang dapat menunjukan keadaaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafazh tertentu.”
            Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui keadialan para rawi, antara lain  fulaanun au tsaqun naasi (pulan orang yang paling dipercaya ), fulanun dzobitun ( fulan kuat hapalannya ), dan lain-lain. Adapun contoh untuk mengetahui kecacatan rawi, antara lain fulanun akdzabun nasi ( filan adalah orang yang paling berdusta ), fulaanun muttahamum bilkadzabi ( ia tertuduh dusta ), dan lain-lain.
            Sebagaimana Ilmu rijal al-hadish, ilmu ini juga sangat penting kedudukannya dalam kajian ilmu hadish, terutama karena peannya dalam menetapkan adil datau tidaknya, dhabit atau tidaknya, dan diterima atau tidaknya seorang perawi dalam meriwayatkan hadish.
            Menurut Ibnu Adi (w.365 H), dalam muqodimah kitab Al-Kamil, penilaian para perawi ini telah dimulai sjaka para sahabat. Diantara para sahabat yang sering memberikan penilaian terhadap rawi hadish ini adalah Ibbnu Abbas (w.68 H), Ubaidah Ibnu Tsamit ( w.34 H) dan Anas bin Malik ( w.93H).
            Ulama yang sering memberikan penilaian pada zaman tabiin adalah asy-syabi ( w.103 H), Ibnu Sirin ( w.110 H), Said Ibnu Al-Musayyab (w.94 H ). Pada masa tabii ini, masih sedikit orang yang dipandang cacat, namun setelah abad kedua hijriah banyak ditemuakan orang-orang yag dianggap lemah dalam meriwayatkan hadish. Kelemahan mereka adakalanya karean mereka meng-irsal-kan hadish, adakalanya karena me-marfu’-kan hadish yang sebenarnyan mauquf, dan karena ada  beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti yang dilakukan oleh Abu Harun Al-Abdari (w.143 H).
            Sesudah berakhir masa tabiin, yaitu ira-kira tahun 150 Hijriah, para ahli mulai menyebutka keadaaan-keadaan para rawi, men-tarjih-kan mereka. Diantara ulama besar yang memberikan perhatian pada masalah inni adalah Ibnu Said Al-Qattan (w.189 H), Abdu Rahman ibnu Mahdi (w.198 H), Yazid Ibnu Harun ( w.189 H), Abu Daud Ath-Tahyalisi (w.204 H), Abdul Razaq ibn Human ( w.211 H). Sesudah masa itu, barulah para ahli menyusun kitab Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil, yang didalamnya terangkan keadaan para rawi yang boleh diterima dan di tolak riwayat.
            Diantara pemuka-pemuka Ilmu Al-Jahr wa At-Ta’dil adalah Yahya ibnu Main ( w.233 H), Ahmad Bin Hanbal ( w.241 H), Muhamad Ibnu Sa’ad (w.230), Ali Ibnul Madini (w.234 H), Abu Bakar Ibnu Syaibah (w.235) dan lain-lain.
            Kitab-kiatb yang terkenal dalam cabang ilmu hadish ini adalah Thabaqat Ibn Sa’ad dan At-Takmil fi Ma’rifat Ats-Tsiqat wa adh-Dhuafa wa Al-Majahil. Diantara para ulama yang menyusun kitab dengan mengelompokan sanad hadish kedalam kelompokkelompok khusus, seperti sanad yang itsiqah, dhoif, atau matruk. Diantara mereka adalah Zainudin Qasim Al-‘Ijili, Al-Bukhari, dan Ibn Al-jauzi.
3.      Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu fannil mubhamat adalah Ilmu untuk mengetahui nama orang yang tidak disebutkan dalam matan atau dalam sanad.
            Diantara ulama yang menyususn kitab dalam masalah ini adalah Al-Khathib Al-Bagdady. Kitab Al-khatib ini diringkas dan diteliti oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat ila Bayani Asma Al-Mubhamat.
            Rawi-rawi yang tidak dsebutka namanya dalam shohih bukhori diterangkan dengan lengkap oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani daalm Hidatus Sari Muqqadaamah Fathul Bari.
4.      Ilmu ‘Ilal Al-Hadish
            Kata Al-Illah, secara bahasa artinya al-marad ( penyakit atau sakit ) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja a’la , ya’lu atau i’talu yang berarti “marada”.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu illal al-hadish menurut ulama Muhaddisin adalah :
“ Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kshohihan hadish, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadish yang mauquf, memasukan hadish kedalam hadish lain, dan hal-hal lain seperti itu.”
            Abu Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi dalam kitabnya MA’rifah Ulum Al-Hadish menyebutkan bahwa Ilmu ‘Ilal Al-Hadish adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari itu sahih dan dhoif , jarh dan ta’dil. Ia meneragkan, ilat hadish tidak termasuk dalam bahasa jarh sebab hadish yang majruk adalah hadish yang gugur yang gugur dan tidak dipakai. Illat yang banyak terdapat pada hadish yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang menceritakan hadish yang mengandung illat tersembunyi. Karena illat tersebut, hadishnya disebut hadish ma’lul. Lebih jauh lagi, Al-Hakim menyebutkan bahawa dasar penetapan illat hadish adalah hapalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup.
5.      Ilmu Gharib Al-hadish
Ilmu Gharib Al-hadish adalah “ ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadish yang sukar diketahui matannya dan jarang terpakai oleh umum.”
            Ilmu Gharib Al-hadish dibahas lafaz yang musykil dan susunan kalimat yang sukar difahami sehingga orang tidak akan menduga-duga alam memahami redaksi hadist.
            Pada masa sesudah masa sahabat, yaitu pada abad pertama dan masa tabiin sekitar tahun 150 H, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami  oleh umum, dan hanya kalangan terbatas yang memahaminya. Untuk itu para ahli hadish  mengumpulkan kata-kta yang tidak dapat dipahami oleh umum dan jarang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.
            Menurut sejarah, oarang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafaz yang ghorib adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna ( w.210 H), kemudian dikembangkan oleh Abdul Hasan Al-Mazini ( w.204 H).
            Tiga kitab Gharib Al-hadish pada abad III H adalah susunan Ubaid Al-Qasimi ibn Sallam ( w.224 H), Ibnu Qutaidah Ad-Dainuri (w.276 H), dan Khathtabi (w.378 H). Kitab lainnya setelah itu adalah Gharib Al-Qur’an dan Alhadish susunan Al-Hawari (w.401 H) , dan lain-lan.
Upaya para ulama muhaddisin untuk menafsirkan ke-gharib-an matan hadish antara lain :
1.      Mencari dan menalaah hadish yang sanadnya berlainana dengan yang ber-matan Gharim.
2.      Memerhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadish atau sahabat lain yang tiak meriwayatkan.
3.      Memerhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.

6.      Ilmu Nasikh dan Mansukh
            Nasikh secara Etimologi adalah  al-izalah“menghilangkan” dan An-Naqlu “ mengutip, menyalin”. Ilmu Nasikh dan Mansukh hadish, menurut ulama hadish , adalah “ ilmu yang membahas hadish-hadish yang saling bertentangan yang mungkin tidak bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai “ nasikh” dan sebagian lainnya sebagai “ mansukh” dan yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagi nasikh.”
            Ilmu itu sangat bermanfaat untuk pengalaman hadish bila da dua hadish maqbul yang tanaqud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’ bila dapat dikompromikan hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-Hadish, kedua hadish maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di-jama’ ( dikompromikan), hadish maqbul yang manaqud tersebut di tajrih atau di-nasakh.
            Bila diketahui mana diantara kedua hadish yang di-wurud-kan lebih dulu yang di-wurud-kankemudian, wurud, kemudian ( terakhir ) itulah yang diamalkan, sedangkan yang dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.
            Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lan berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rosulullah Saw sendiri. Keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.
            Perintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’i  dilanjutkan oleh Ahmad ibn Ishaq Ad-Dinari ( w.318 H), Muhamad Ibn Bahar al-Ashbahani ( w.322 H), dan lain-lain.Kitab- kitab yang disusun tentang Nasikh dan Mansukh Hadish, disntaranya yaitu, An-Nasikh wa al Masukh ,, karya Qatadah bin Di’amah as-Sadusi ( w.118 H), namun tidak sampai ke tangan kita, Nasikh dan Mansukh min Al-Atsar, karya Imam Al-Hafizh an-Nassabah Abu Bakar Muhamad bin Musa al-hazimi al-Hamadani ( w.584 H), An-Nasikh wa Mansukh karya Abul Farj Abdurahman bin AliTau yang ebih dikenal Ibnu al-Jauzi.


7.      Ilmu Talfiq Al-Hadish
            Ilmu Talfiq Al-Hadish adalah “ ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadish-hadish yang berlawanan lahirnya”.
            Cara mengumpulkan dalam Talfiq Al-Hadish ini adalah dengan men-takhsis-kan makna hadish yang amm ( umum), man-taqyid-kan hadish yang mutlaq, atau melihatberapa banyak hadish itu terjadi. Para ulama menamai ilmu hadish ini dengan Ilmu Talfiq Al-Hadish.
            Diantara para ulama yang telah merintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’i ( w.204 H) dengan kitab Talfiq Al-Hadish-nya, dilanjutkan oleh Ibnu Qutaibah ( w.276 H), Al-Thahawi ( w.321 H), Ibn Al-jauzi (597 H) dan yang meyusun kitab At-Tahqiq, yang disyarah dengan baik oleh Ahmad Muhamad Syakir.
8.      Ilmu Tashif wa At-Tahrif
Ilmu Tashif wa At-Tahrif, adalah “ Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencatat hadish “
            Diantara kitab daam Ilmu ini adalah kitab Al-Tahnif wa At-Tahrif, disusun oleh Al-daquthni ( w.385 H) dan Abu Ahmad Al-Askari ( w.283 H)
9.      Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadish
            Pengertian Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadish, adalah “ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Saw, menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi Saw menuturkan itu.”
            Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadish serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadish tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadish, sebagaimana pentingnya kedudukan asbab al-nuzul dalam memahami Al-qur’an.
            Ulama yang mula-mula menyusun kitab ashab wurud al-hadish adalah Kaznah Al-Jubari dan Abu Hafash’ Umar Ibn Muhamad ibn Raja’ Al’Ukbari (339H). Kitab yang terkenal adalah kitab Al-Bayan wa Al-Ta’rif yang disusun oleh Ibrahim Ibn Muhamad Al-Husaini ( w.1120H).
10.  Ilmu Mushthalah Ahli Hadish
            Pengertian Ilmu Mushthalah Ahli Hadish, adalah “ Ilmu yang menerangkan pengertian-penngertian ( itilah-istilah ) yang dipakai oleh ahli-ahli hadish.”
            Ulama yang mula-mula  menyusun kitab tentang Ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy ( w.360 H). Kitab ini boleh dikatakan kitab yang cukup lengkap isinya. Kemudian, dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Al-Khatib ( w.463 H), Alhafidz ibn Shalah ( 463 H) dengan kitabnya Muqaddimah ibn Shalah.
            Kitab-kitab tentang ilmu ini ada yang ditulis secara ringkas seperti Nukhbatul Fikar yang disususn oleh Al-Asqalani. Dan ada juga yang ditulis secara panjang lebar, seperti Taujihun Nadzar fi Ushulil Atsar karangan Asy-Syaikh Thahir Al-Jaza’iry dan Qawa’idul Tahdits, karya Allamah Jamaluddin Al-Qaimi.

E.  Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist


            Dalam tataran praktiknya, ilmu hadish sudah ada sejak periode awal islam atau sejak Rasulullah Saw, pain todak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu iini muncul bersamaan dengan mulai periwayatan hadish yang disertai dnegan tingginya perhatian dan selektifitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampaikepada mereka. Berawal dari hal yang sangat sederhana, ilmu berkembang sdemikian rupa seiringdengan perkembangannya masalah yang dihadapi. Pada akhrnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
            Pada periode Rasulullah Saw, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat ( hadish) yang menjadi cikal bakal ilmu hadish terutama ilmu hadish  dirayah dilkukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu meneriam suatu periwayatan dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah Saw, atau kepada sahabat lain yang dipercaya untuk mengomfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadish tersebut.
            Pada periode sahabat, penelitian hadish hadish yang menyangkut sanad maupun matan hadish semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq ( 573-634 H) kholifah pertama dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau Kholifah besar, misalnya tidak menerima suatu hadish yang disampaikan oleh seseorang , kecuali yang bersangkutan maupun mendatangkan saksi untuk memastkan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
            Demikian pula, Umar Bin Khatthtab ( 581-644 H), kholifah kedua. Bahkan Umar mengancam akan memberi sangsi terhadap siapapun yang meriwayatkan hadish jika tidak mendatangkan sangsi. Ali Bin Abi Thalib (603-661 H ) Kholifah terakhir menerapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadish yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah tas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan terhadap sabat-sahabt yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
            Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadish-hadish Rasulullah Saw. Diantara sahabat yang terkenal selektifdan tak segan-segan membicarakan kepribadian ahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadish adalah Annas Bin Malik ( w.95 H) Abdullah Bin Abbas ( Ibnu abbas ) , dan Uabidah Bin Ash-Tsamit.
            Prisip dasar penelitian sanad yang terkandung daam kebijaksanaan yang dicontokan oleh para sahabt diikuti andikembangkan pula oleh para tabiin. Diantara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah sa’id Bin Musayyab ( 155-94 H), al-Hasan Al-Bashri (21-110 H), Amir Bin Syurahbil Asy-Sya’bi ( 17-104 H) dan muhammad Bin Sirin (w.110H ).
            Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat “Aisyah Binti Abu Bakar r.a, misalnya pernah mengkritik dari hadish abu Khurairah (w.57 H) dengan matan , “ Innal- Mayyita yu’azabu bi buka’i ahlihi ‘alaihi ( sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). Aisyah mengatakan bahwa periwayatan telah salah dalam menyampaikan hadish tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Sutu ketika Rasulullah meliwati kuburan orang Yahudi kemudain beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap diatas.
            Melihat hal tersebut , Rasulullah bersabda ,” mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburannya.” Lebih lanjut Aisyah berkata, “ cukuplah Al-Qur’an sebagai bukti ketidak benaran matan Hadish yang atang dari Abu Khurairah karena maknanya bertentangan dengan Al’-qur’an. “ ia mengutip suart Al-An’am ayat 16 yang artinya “.... dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....”
            Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Khaththab, Ali Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Mas’ud ( Ibnu Mas’ud) , dan Abdullah Bin Abbas. Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin  berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi. Demikian pula dikalangan ulama-ulama hadish selanjutnya.
            Pada akhirnya abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadish mengambil bentuk sebagai ilmu hadish teoritis, disamping bentuk praktis seperti dijelaskan diatas. Imam Asy-Syafii adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadishnya secara tertulis sebagaiman terdapat dalam karya monumentalnya Ar-Risalh ( kitab Usul Fiqh) dan Al-Umm ( kitab fiqh). Hanya saja ilmu hadish tidak terhimpun dalam satu kitab khusus, melainkan tersebar dalam pembahasan dalam dua kitab tersebut.
            Dalam cacatan sejarah perkembangan hadish, diketahui bahwa ulama yang pertama kalinya berhasil menyusun ilmu hadish dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhamad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi ( 265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadish scara lengkap. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut , kitab ini sampai kepada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.
            Kemudain, muncul Al-Hakim Abu Abdillah Muhamad Bin Abdillah An-Naisaburi (w.405H/1014 M ) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadish. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya Ar-Ramarhumuzi, karya Al-Hakim ini juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya ulam berikutnya.
            Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w.430H/1038 M), muhaddits ( ahli hadish) dari Atsalun ( Persia), berusah melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, Al-Mustakhraj’ Ala MA’rifah ‘Ulum Al-Hadish. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum Ah-Hadish kaya Al-Hakim.
            Setelah, muncul Abu Bakar Ahmad Al-Khathib Al-Bagdadi ( 392 H/ 1002 M- 463 H/ 1071 M) yang menuis dua kitab ilmu hadish, yakni Al-Kifayah fi Qawanin Ar-Riwayah dan Al-Jami’li Adab Asy-Syeikh wa As-Sami.Setelah itu , Al-Bagdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadish. Menurut Al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqthah, ulama hadish kontenporer dari Mesir yang menulis ilmu hadish setelah Al-Bagdadi pada dasarnya berutang kepada karya-karya yang ditnggalkannya.
            Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi’ Iyadh bin Musa Al-yashibi ( w.544H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’. Berikutnya adalah Abu Hafsh Umar Bin Abd.Majid Al-Mayanji ( w.580 H) dengan kitab Mala Yasi’u Al-Muhaddits Juhluh. Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usman Bin Shalah. Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis syarah ( ulasan)-nya.
            Kitab yang lainnya yang cukup terkenal diantaranya Tadrib Ar-Rawi oleh jalaluddin As-Suyuthi, Taudih Al-Afkar oleh Muhamad bin Ismail Al-Kahlani As-San’ani, dan Qawa’id At-Tahdis karya Muhamad bin Sa’id bin Qasim Al-Qasimi.
            Disamping kitab ulumul hadish yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumull hadish yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadish tertentu dengan pembahsan yang lebih luas dam mendalam.


            Dapat diringkas mengenai perkembangan pembukuan ilmu hadish secara singkat ;
No
Masa
Karakter
Indikator
1.
Masa Nabi
Telah ada dasar-dasar ilmu hadish
Q.s Al-Hujurat (49); 6 dan Al-Baqarah (20);282
2.
Masa Sahabat
Timbul secara lisan secara eksplisit
Periwayatan harus disertai saksi, bersumpah, dan sanad.
3.
Masa tabiin
Telah itmbul secara tertulis tetapi belum terpisah dengan ilmu lain.
Ilmu hadish bergabung dengan fiqh dan usul fiqh, seperti Al-Umm dan Ar-Risalah.
4.
Masa Tabi’ Tabiin
Ilmu hadish telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain tetapi belum menyatu.
Telah muncul kitab-kitab ilmu hadish seperti At-Tarikh Al-Kabir li Al-bukhari, Thabaqat At-Tabi’in dan Al-il-‘ilah karya Muslim, kitab Al-Asma wa al-Kuna dan kitab At-Tawarikh karya At-Timidzi.
5.
Masa setelah Tabi’ Tabiin ( abad ke4 H)
Berdiri sendiri sebagai ilmu hadish.
Ilmu hadish pertama Al-Muhaddits Al-fashil bayn Ar-rawi wa Al-Wa’i karya Ar-ramahurmuzi.
  

Article Top Ads

Central Ads Article 1

Middle Ads Article 2

Article Bottom Ads