Iklan

jika Ingat Kalimat Ini,Aku Selalu Menangis



Tua itu kepastian, tapi bijak adalah pilihan. Menua adalah ketentuan, tapi menjadi sosok penuh hikmah adalah pilihan yang diiringi dengan kerja keras tuk mewujudkan pilihan itu.

Maka bijak dan dipenuhi hikmah, jalannya bisa bermacam rupa. Pun, dengan belajar dari mereka yang secara usia lebih muda, bahkan mereka yang masih anak kecil-belia sekali pun.

Sering kali, sebab merasa tua, kita memicingkan mata terhadap mereka yang belum berumur. Klaimnya, mereka masih muda dan belum merasakan asam-garam kehidupan. Lantas kita yang lebih tua merasa lebih bijak sebab sudah mengalami banyak fase kehidupan dan pengalaman.

Padahal, kehancuran seseorang dimulai ketika ia merasa hebat. Saat merasa besar itulah, seseorang tengah menggali lubang kebinasaannya sendiri.

Selain itu, banyak sosok muda atau mereka yang masih kecil, tapi memiliki kebijkasanaan yang tinggi. Bahkan jika kita akui, dari anak-anaklah kita belajar ketulusan, kejujuran, sederhana, dan semangat meneladani yang tak pernah surut. Dari mereka itu, kita juga mendapati hikmah yang tak didapat di bangku pendidikan formal mana pun.

Lelaki yang bernama al-Junaid ini, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam ‘Uddatush Shabirin, sedang bermain-main di depan as-Sariyy. Di antara mereka ada orang yang tengah berbicara tentang makna syukur.

Tanya as-Sariyy kepada al-Junaid yang baru berumur biologis tujuh tahun itu, “Nak, apa makna syukur menurutmu?”

Bisakah kita membayangkan jawabannya? Sejenak, mari mundur ke belakang, jika usia kita tujuh tahun; kira-kira jawaban apa yang akan kita sampaikan saat mendapatkan pertanyaan seperti itu?

Namun, al-Junaid bukanlah kita yang penuh salah dan jauh dari makna bijak. Al-Junaid, meski usianya baru akan memasuki sekolah dasar jika hidup di zaman kita itu menyampaikan jawaban dengan mengatakan, “Syukur adalah tidak bermaksiat dengan menggunakan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah Ta’ala.”

Sebelum melanjutkan kisahnya, coba perhatikan keshahihan kalimatnya; mungkinkah kita tidak bermaksiat dengan tidak menggunakan nikmat-Nya? Bahkan nafas atau atau anggota tubuh yang sering kita jerumuskan dalam bermaksiat adalah karunia dari Allah Ta’ala yang tak ada sedikit pun kekuasaan kita atasnya.

Setelah mendengar jawaban al-Junaid, as-Sariyy mengatakan, “Nyaris saja, bagianmu dari Allah Ta’ala adalah lidahmu.” Maksudnya, apa yang diucapkannya itu, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.

Karenanya pula, ketika al-Junaid memasuki usia dewasa, ia berkata, “Sejak itu, setiap kali mengingat perkataan as-Sariyy, aku selalu menangis.”

Article Top Ads

Central Ads Article 1

Middle Ads Article 2

Article Bottom Ads