Iklan

Kitab Fiqih Yang Membahas Korupsi dan Suap

Idhah al-Ahkam Lima Ya’khudzhuhu al-‘Ummal wa al-Hukkam
Idhah al-Ahkam Lima Ya’khudzhuhu al-‘Ummal wa al-Hukkam inilah nama kitabnya. Ibn Hajar Al-Haitami menulis kitab ini sebagai jawaban atas pertanyaan tertulis dari seseorang dari Yaman, mengenai hukum hadiah dan suap. 


la menjawab­nya dengan tulisan ringkas. Namun untuk mendalami jawaban masalah ini, ia meneliti berbagai kitab, di antaranya kitab Fashl al-Maqal fi Hadaya al- ‘Ummal, karya Syaikhul Islam Tajuddin As-Subki.

Tapi, menurut Ibn Hajar, karya As- Subki terlalu panjang lebar sehingga sangat sulit untuk dipahami, karena penulisnya tidak melakukan tarjih (upaya memilih pendapat-pendapat yang kuat) terhadap banyak persoalan, bahkan cenderung pada pendapat yang lemah. Karena itu, Ibn Hajar meringkas dan menjelaskannya dengan bahasa yang mudah dipahami bagi semua kalangan yang ada, dan melengkapinya dengan banyak persoalan yang banyak dibutuh­kan oleh masyarakat.

Dalam Madzhab Syafl’i, inilah kitab pertama yang secara spesifik membahas persoalan hadiah, korupsi, dan suap. Biasa­nya persoalan ini dibahas dalam per­soalan peradilan dan sewa-menyewa (¡jarah) dalam karya-karya sebelum Ibn Hajar Al-Haitami.

Ada satu hal yang agak aneh. Meski Syaikh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1731 M) menyusun satu kitab yang berjudul Tahqiq al-Qadhiyah fi al-Farq Bayn ar-Risywah wa al-Hadiyah, sebuah pendekatan fiqih Madzhab Hanafi dalam hal tersebut, ia sama sekali tak menye­but nama dan karya Ibn Hajar ketika membeberkan pendapat Madzhab Syafi’i dalam kitabnya itu.

Pada pasal pertama, Ibn Hajar Al- Haitami memulai dengan menukil sejum­lah hadits yang mengharamkan praktek suap dan hadiah kepada para pejabat pemerintah. Paling tidak ada 12 hadits yang dinukil oleh Ibnu Hajar. 

Di antara­nya hadits riwayat At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim, yang berasal dari Abdullah bin Amr, 

“Rasulullah melaknat pe­nyuap dan yang minta suap. Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan ghulul (koruptif).” (HR Ahmad dan Al-Bazzar).

“Pengkhianat yang paling besar adalah penguasa yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis.” (HR An-Nuqqasyi dan Abu Nu’aim).

“Barang siapa kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan gaji kepadanya, apa yang ia ambil selain gajinya itu bersifat ghulul.” (HR Abu Daud).

“Pemberian hadiah kepada para pejabat termasuk tindakan ghulul.” (HR Al-Bazzar dan Ahmad).

Fakta bahwa hadits-hadits ini diletak­kan pada pasal pertama, tentunya itu sebagai basis theologis dan hukum bahwa suap dan hadiah kepada para pejabat adalah tindakan tercela, dilaknat, dan koruptif. Dari hadits-hadits ini pula kita dapat mengatakan, hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pejabat, hakim, para pengambil keputusan, seperti ang­gota DPR, atas nama apa pun, tetaplah dianggap sebagai tindakan koruptif, karena mereka sudah memperoleh gaji yang sudah ditentukan pemerintah.

Selanjutnya pada pasal kedua Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan, Allah SWT telah memerintahkan para pe­nguasa dan para hakim untuk me­negakkan keadilan tanpa menukarnya dengan imbalan apa pun. 

Jika mereka mengambil dan menerima imbalan semacam itu, berarti mereka menjadikan suap itu harga dari keadilan. Allah tidak rela jika keadilan-Nya ditukar dengan harta duniawi, karena itu berarti tindakan pengkhianatan terhadap Allah, para rasul-Nya, para malaikat-Nya, dan orang-orang beriman. Keadilan tidak boleh diperdagangkan, la laksana air mengalir, dan siapa pun berhak menikmatinya.

Mengenai hadiah kepada hakim, Ibn Hajar berpendapat, boleh saja asalkan orang yang memberikan hadiah itu sudah terbiasa sebelumnya memberikan hadiah kepada sang hakim, sebelum dia diangkat menjadi hakim dan dia sedang tidak memiliki sengketa hukum, dalam arti tidak sedang berperkara. 

Tidak ada indikasi hadiah itu sebagai permulaan suap, dan hadiah itu tidak melebihi dari biasanya. Meskipun, ini makruh menurut Al-Mawardi, menyalahi hal utama (khilaf al-aula) menurut Ashhab Syafi’iyah. Maka, yang paling utama adalah tidak menerimanya.

Menerima hadiah bisa juga menjadi haram hukumnya menurut ijma’ ulama jika yang memberikan hadiah itu sedang memiliki sengketa hukum, meskipun bukan di wilayah kompetensi hakim yang bersangkutan dan sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada sang hakim sebelum ia diangkat menjadi hakim.

Adapun terhadap hadiah yang me­ngandung syubhat sebagai suap atau jelas-jelas suap, seorang hakim harus mengembalikannya kepada pemberi, tidak boleh memilikinya. 

Apabila barang itu rusak, ia menjadi utang yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai barang tersebut. Jika ia meninggal sebelum melunasi pengembalian hadiah itu, diambilkan dari tirkah (warisan) sebelum dibagikan kepada ahli warisnya.

Lalu bagaimana jika si pemberi hadiah tidak diketahui atau tidak di­temukan? Menurut Ibn Hajar, harus dikembalikan kepada baitul mal (kas negara), karena uang atau barang itu statusnya sama dengan barang hilang (mafqud). 

Jika hadiah atau suap dalam bentuk manfaat dan bukan dalam bentuk uang atau benda, menurut Ibn Hajar, berdasarkan pendapat yang zhahir da­lam madzhab, statusnya sama dengan benda atau uang.

Kitab yang diterbitkan Darul Kutub Al-llmiyyah Beirut ini baik untuk dijadikan rujukan mengenai fiqih suap dan korupsi. Meski demikian, dalam kitab ini ada beberapa hal yang tidak relevan dengan situasi masa kini. 

Misalnya, hakim yang mengambil upah dari pihak-pihak yang bersengketa. Ini karena di zaman dahulu memang ada hakim yang tidak me­nerima gaji dari pemerintah.

Hasil tahqiq kitab ini sangat mem­bantu pembaca, dengan banyaknya catatan kaki, baik berkaitan dengan nama, riwayat hidup tokoh-tokoh mau­pun ulama-ulama yang disebut dalam kitab ini.


Kitab yang terbit pertama kali tahun 2004 ini juga dilengkapi dengan biografi lengkap sang penulis, Ibn Hajar Al- Haitami, daftar karya Ibn Hajar, dan sumber-sumber kitab manuskrip

Article Top Ads

Central Ads Article 1

Middle Ads Article 2

Article Bottom Ads