Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti 'Aisyah di Bulan Syawal
Bulan Syawal mengingatkan kita pada sejumlah peristiwa penting dalam sejarah Islam, salah satunya adalah pernikahan Rasulullah saw dengan Siti ‘Aisyah. Peristiwa ini tidak saja menjadi catatan sejarah penting, tetapi juga sekaligus sebagai pembantah keyakinan bangsa Arab saat itu yang meyakini bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah ini sebagai pantangan untuk melakukan pernikahan.
Ahmad Ahmad Ghalwasy dalam as-Siratun Nabawiyah wad Da’wah fi ‘Ahdil Makki melaporkan, Rasulullah menikahi Siti ‘Aisyah jarak tiga tahun setelah kewafatan Siti Khadijah, istri pertamanya. Akad pernikahan dilakukan di Makkah saat usia ‘Aisyah masih enam tahun. Nabi baru menggaulinya ketika ‘Aisyah sudah berusia sembilan tahun. (Ahmad Ahmad Ghalwasy, as-Siratun Nabawiyah wad Da’wah fi ‘Ahdil Makki, t.t: 374)
Pernikahan Rasulullah dan Siti ‘Aisyah berdasarkan petunjuk langsung dari Allah swt. Sebelum menikahi Aisyah, Rasulullah mendapatkan isyarat untuk menikahinya melalui mimpi yang dialaminya sampai tiga kali. Sebagaimana diketahui, mimpi seorang nabi adalah wahyu. Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan,
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ اﻟﻠﻪِ -ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: “ﺃُﺭِﻳْﺘُﻚِ ﻓِﻲ اﻟﻤَﻨَﺎﻡِ ﺛَﻼَﺙَ ﻟَﻴَﺎﻝٍ ﺟَﺎءَ ﺑِﻚِ اﻟﻤَﻠَﻚُ ﻓِﻲ ﺳَﺮَﻗَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺣَﺮِﻳْﺮٍ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ: ﻫَﺬِﻩِ اﻣْﺮَﺃَﺗُﻚَ ﻓَﺄَﻛْﺸِﻒُ، ﻋَﻦْ ﻭَﺟْﻬِﻚِ ﻓَﺈِﺫَا ﺃَﻧْﺖِ ﻓِﻴْﻪِ. ﻓَﺄَﻗُﻮْﻝُ: ﺇِﻥْ ﻳَﻚُ ﻫَﺬَا ﻣِﻦْ ﻋِﻨْﺪِ اﻟﻠﻪِ ﻳُﻤْﻀِﻪِ”
Artinya, “Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Aku bermimpi tentangmu selama tiga malam. Malaikat membawamu dalam sebuah tempat yang terbuat dari sutera. Malaikat itu kemudian berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ ‘Aku buka wajahmu ternyata engkau di dalamnya.’ Aisyah berkata, ‘Jika ini datang dari Allah, maka akan berlanjut.'” (HR Muslim)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah hanya bermimpi sebanyak dua kali.
Hikmah Pernikahan
Sebagai sosok teladan, Rasullah saw selalu memberikan pesan moral mulia dalam setiap langkah kehidupannya, termasuk peristiwa pernikahannya dengan putri Abu Bakar ash-Shiddiq itu. Berikut penulis kemukakan dua hikmah besar di balik peristiwa tersebut.
Pertama, Nabi menikahi Siti ‘Aisyah bukan karena nafsu jasmani layaknya manusia pada umumnya. Ini menjadi catatan penting dan sangat perlu disampaikan agar tidak disalahpahami. Di atas sudah dijelaskan bahwa Nabi menikahinya murni berdasarkan wahyu dari Allah swt melalui mimpi yang dialaminya berulang kali.
Allah swt menyuruh Nabi untuk menikah karena sebuah kemaslahatan. Dengan menjadi istri Nabi sejak usia dini dan kecerdasan yang dimilikinya, Aisyah banyak merekam jejak kehidupan Nabi yang tidak bisa dijangkau oleh para sahabat. Dari sini lah kemudian Aisyah banyak meriwayatkan hadits dan menjadi corong intelektual pada zamannya sehingga banyak ulama yang terbantu dengan kontribusinya.
Syekh Ash-Shabbuni sendiri mengakui bahwa ‘Aisyah memiliki reputasi intelektual yang cukup mapan karena merupakan istri Nabi yang paling cerdas, bahkan mengalahkan kecerdasan laki-laki pada zamannya (As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam minal Qur’an, 2015: juz II, h. 274)
Urawah bin Zubair bin Awwam pernah mengungkapkan, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih paham soal urusan halal, haram, pengetahuan, syair, dan kesehatan selain Siti Aisyah.” Dalam riwayat lain berbunyi, “Aku belum pernah menemui seorang lebih paham soal Al-Qur’an, urusan fardhu, halal, haram, fiqih, syair, kesehatan, sejarah bangsa Arab, dan nasab selain Siti Aisyah.”
Muhammad bin Syihab az-Zuhri pernah mengatakan,
لو جمع علم الناس كلهم ثم علم أزواج النبي – صلى الله عليه وسلم – لكانت عائشة أوسعهم علما
Artinya, “Andai pun ilmu seluruh manusia dikumpulkan, termasuk ilmu istri-istri Nabi saw, maka belum bisa mengalahkan keluasan ilmu Siti ‘Aisyah.” (Sulaiman an-Nadawi, Siratus Sayyidah ‘Aisyah, t.t: 228)
Kedua, Syawal sebagai bulan baik untuk menikah. Pernikahan Nabi dengan siti Aisyah di bulan Syawal dijadikan dasar oleh para ulama sebagai dalil kesunnahan menikah di bulan tersebut. Dalam satu hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Tirmidzi dijelaskan,
عن عَائِشَة رَضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّال، وَبَنَى بِي فِي شَوَّال، فَأَيّ نِسَاء رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْده مِنِّي؟ قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَة تَسْتَحِبّ أَنْ تُدْخِل نِسَاءَهَا فِي شَوَّال.
Artinya, “Dari Sayyidah ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mulai mencampuriku juga di bulan Syawal, maka istri beliau manakah yang kiranya lebih mendapat perhatian besar di sisinya daripada aku?’ Salah seorang perawi berkata, ‘Dan Aisyah merasa senang jika para wanita menikah di bulan Syawal.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).
Berangkat dari hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini menjadi dasar anjuran menikah, menikahkan, dan melakukan hubungan suami istri di bulan Syawal. Selain itu, ucapan Siti ‘Aisyah di atas juga sekaligus membantah keyakinan bangsa Arab saat itu yang menjadikan Syawal sebagai bulan pantangan (makruh) untuk menikah yang ternyata keyakinan tersebut merupakan warisan zaman jahiliah yang sama sekali tidak memiliki dasar. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, 1392 H: juz IX, h. 209). Wallahu al’am.
Muhammad Abror, alumnus Pesantren KHAS, Kempek, Cirebon