Sejarah Haji Zaman Rasulullah: Rintangan, Kemenangan, dan Hikmahnya
Mengenang sejarah haji secara komprehensif berarti menyingkap memori haji dari masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Kenangan akan haji komprehensif ini bisa mengambil titik pijak awal dari QS al-Baqarah ayat 196. Menurut Mohammad Izzah Darwazah, surat al-Baqarah adalah surat Madaniyah yang pertama, berdasarkan urutan kronolgis surat-surat dalam Al-Qur’an.
Angka 196 ini penting jika kita ingin mengurai sejarah haji komprehensif. Selain mudah dikenal, satuan angka ini juga dapat dimaknai sebagai simbol-simbol yang mempunyai makna rahasia. Angka enam yang posisinya di belakang mengisyaratkan bahwa perintah haji pertama ini terjadi pada tahun ke-6 Hijriah. Angka sembilan yang posisinya terletak di tengah dapat dicatat sebagai pelaksanaan “haji” di tahun ke-9 Hijriah. Sedang angka satu yang terletak pada urutan pertama dapat dimaknai bahwa ibadah haji hanya sekali dilakukan dalam seumur hidup. Dalam sejarah kenabian, Nabi Muhammad memang hanya melakukan ibadah haji sekali yang dikenal dengan Haji Wada’ di tahun kesepuluh Hijriah. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan “haji” di tahun ke-9 Hijriah?
Angka sembilan biasa dikenal sebagai angka berbagi. Pada tahun ke-9 Hijriah Nabi Muhammad sesungguhnya tidak berhaji, dengan tujuan mengatur keadaan masyarakat di Madinah agar tidak tersebar tindakan orang-orang munafik. Di sisi lain, Nabi Muhammad justru mengutus Sahabat Abu Bakar dan Sayyidina Ali untuk melaksanakan ibadah umrah bersama rombongannya, sekaligus memberi maklumat agar orang-orang Makkah tidak melakukan tindakan syirik dan menghentikan pelaksanaan tawaf dalam keadaan telanjang (QS al-Taubah: 3). Sekadar diketahui, surat al-Taubah ini adalah surat ke-9 berdasarkan tata urutan Mushaf Utsmani. Sedangkan urutan nuzulnya menempati nomor surat yang ke-113 dan termasuk kategori surat Madaniyah.
Perjalanan haji dari tahun ke-6 hingga tahun ke-9 Hijriah dikenal dengan istilah ‘haji kecil’ atau umrah, sedang haji yang dilaksanakan tahun kesepuluh Hijriah disebut dengan ‘haji akbar’. Esensi haji akbar sebagaimana dituangkan dalam surat al-Taubah ayat 3 adalah pemutusan hubungan Nabi Muhammad dengan perilaku orang-orang kafir Quraisy dalam hal kesyirikan dan ketelanjangan dalam tawaf. Tahap pemberlakukan misi pembebasan ini dilakukan secara gradual dalam jangka waktu empat bulan sebagaimana diisyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 2:
فَسِيْحُوْا فِى الْاَرْضِ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى اللّٰهِۙ وَاَنَّ اللّٰهَ مُخْزِى الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.”
Surat al-Baqarah ayat 196 tersebut memberi pesan bahwa ibadah haji dan umrah harus dilaksanakan semata-mata karena Allah. Ayat ini juga mengatur cara pelaksanaan haji dalam keadaan darurat, haji bagi orang sakit, haji dalam kondisi aman, tamattu’, dan sederet problem lainnya terkait dengan persoalan hadyu (hewan korban atau hewan yang disembelih sebagai dam nusuk atau isa’a) dan fidyah (berpuasa atau bersedekah atau berkurban). Di ayat ini juga diatur: jika hadyu atau fidyah tidak bisa dilaksanakan, maka seseorang diberikan kelonggaran dengan berpuasa sepuluh hari (tiga hari dilakukan di Makkah dan tujuh hari lainnya di tempat tinggalnya).
Nabi Muhammad menerima perintah haji pertama kali pada tahun ke-6 Hijriah melalui wahyu yang hadir lewat mimpi. Di dalamnya juga diserukan kepada umat Islam untuk bersama-sama melaksanakan ibadah haji. Respons umat Islam saat itu sungguh luar biasa. Bisa dibayangkan, bagaimana respons tersebut muncul dari Sahabat Muhajirin yang sudah enam tahun meninggalkan Makkah. Rasa rindu mereka untuk menengok tempat kelahiran dan keluarga di Makkah rasanya akan segera terobati. Antusiasme yang sama juga melanda para Sahabat Anshar yang telah enam tahun dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sahabat Muhajirin. Kegairahan ini menjalari hampir semua orang beriman saat itu.
Rintangan Haji Pertama
Sebanyak 1.700 orang mukmin berangkat haji. Namun, harapan untuk melaksanakan haji tersebut pupus karena orang kafir Makkah memandangnya sebagai gerakan tentara Islam yang hendak menyerbu Makkah. Karena itu, ketika rombongan ini sampai di wilayah Hudaibiyah, mereka dicegat orang-orang Makkah yang melarangnya meneruskan perjalanan.
Sahabat Utsman kemudian diutus Nabi berangkat ke Makkah sendiri untuk menjelaskan kepada pemimpin masyarakat Makkah terkait maksud dan tujuan rombongan umat Muslim datang ke Kota Makkah. Tujuannya tak lain hendak beribadah haji. Karena cukup lama Sahabat Utsman tidak kembali, timbul rumor bahwa Sahabat Utsman telah dibunuh. Rombongan umat Islam yang sedang menunggu di Hudaibiyah sangat resah hingga berbaiat kepada Nabi untuk melawan orang Quraisy Makkah. Peristiwa baiat ini antara lain terekam dalam surat al-Fath ayat 10 dan 18:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيۡهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”
لَّقَدۡ رَضِيَ ٱللهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ يُبَايِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيۡهِمۡ وَأَثَٰبَهُمۡ فَتۡحٗا قَرِيبٗا
Artinya: “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.”
Nabi melarang para Sahabatnya untuk melanjutkan keinginannya berperang melawan orang kafir Makkah. Sahabat Utsman pun akhirnya kembali ke rombongan dalam keadaan selamat. Di sisi lain, penduduk Makkah yang mendengar tekad kaum Muslimin untuk melawan mereka akhirnya menawarkan sebuah kesepakatan. Inilah yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah. Di antara isi perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak tidak boleh melakukan perang selama sepuluh tahun. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, Nabi Muhammad beserta para Sahabatnya tidak boleh berhaji. Jika ada pelanggaran dari orang Islam, maka orang Islam tidak boleh diserahkan pada orang Islam tetapi menjadi tahanan orang Quraisy. Sebaliknya, jika yang melakukan pelanggaran adalah dari pihak kafir Quraisy, orang tersebut harus dikembalikan ke masyarakat kafir Makkah.
Isi perjanjian tersebut menimbulkan ketegangan di antara orang Islam. Mereka merasa bahwa perjanjian itu tidak adil. Padahal, umat Islam saat itu memiliki kemampuan untuk mengalahkan orang-orang Quraisy Makkah. Tapi Rasulullah menerima perjanjian tersebut dengan lapang dada dan meminta para Sahabatnya untuk juga menerimanya.
Pelaksanaan haji pada tahun ke-6 Hijriah tersebut hanya bisa dilaksanakan secara darurat dengan cara tahallul dan membayar hadyu. Karena kegagalan melaksanakan haji di tahun ke-6 ini, hingga Umar Bin Khattab, melontarkan pertanyaan kepada Sahabat Abu Bakar, “Apakah Muhammad itu Nabi atau bukan? Jika benar Nabi, kenapa haji tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna?”
Pertanyaan ini dijawab Abu Bakar dengan bijaksana, “Apakah Nabi pernah bilang kalau haji harus dilaksanakan pada tahun ini?” Mendapat pertanyaan balik seperti itu, Umar pun menjawab, “Tidak.” Sahabat Umar pun patuh kepada Nabi dan bersabar menunggu datangnya waktu yang tepat untuk melaksanakan haji.
Di sisi lain, muncul banyak komentar dari sahabat lain. Intinya mereka meragukan kepemimpinan Nabi yang dianggapnya tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan haji dengan sempurna, meskipun sudah direncanakan dengan baik. Apalagi melakukan sesuatu yang belum direncanakan. Suasana sempat mencekam ketika rombongan ini akan meninggalkan Kota Makkah.
Dalam situasi genting itu, Allah memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad melalui wahyu surat al-Fath. Surat al-Fath adalah surat ke-48 dalam urutan tertib mushaf Utsmani. Namun urutan nuzulnya menempati urutan ke-111 sebagai kategori Madaniyah. Menurut al-Wahidi dalam karyanya Fi Asbab al-Nuzul, berdasarkan riwayat dari al-Miswari ibn Mahramah dan Marwan ibn al-Hakim, bahwa surat al-Fath ini turun di antara Makkah dan Madinah, di mana seluruhnya berisi hal ihwal Perjanjian Hudaibiyah.
Ketika Nabi menerima wahyu surat al-Fath ayat 1-2, dia menceritakan kepada para Sahabatnya. Hal ini terrekam dalam sebuah hadits:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ وَعَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ….مَرْجِعَهُ مِنْ الْحُدَيْبِيَةِ وَهُمْ مُخَالِطُهُمْ الْحُزْنُ وَالْكَآبَةُ وَقَدْ نَحَرَ الْهَدْيَ بِالْحُدَيْبِيَةِ فَقَالَ لَقَدْ أُنْزِلَتْ آيَةٌ هِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا جَمِيعًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا مَا يُفْعَلُ بِكَ فَمَا يُفْعَلُ بِنَا فَأُنْزِلَتْ : لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا …قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ فِي حَدِيثِهِ وَأَصْحَابُهُ مُخَالِطُو الْحُزْنِ وَالْكَآبَةِ وَقَالَ فِيهِ فَقَالَ قَائِلٌ هَنِيئًا مَرِيئًا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَاذَا يَفْعَلُ بِك (رواه أحمد)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, telah mengabarkan kepada kami Sa’id dan Abdul Wahhab dari Said dari Qatadah dari Anas bin Malik berkata, tatkala ayat berikut turun kepada Nabi saw. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang” tepatnya sekembalinya beliau dari Hudaibiyah, yang saat itu para sahabat dirundung kesedihan dan kejengkelan, Nabi telah menyembelih kurbannya di Hudaibiyah, beliau bersabda, “Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang lebih aku sukai daripada dunia semuanya.” Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana Anda diperlakukan, lalu bagaimana dengan nasib kami? Kontan turunlah ayat “Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” Sementara Abdul Wahhab dalam haditsnya mengatakan dengan redaksi, ‘dan para sahabatnya sedang menjumpai kesedihan dan kesusahan’. Juga ia katakan dengan redaksi ‘Selanjutnya ada seseorang yang berkata, selamat wahai Rasulullah, Allah telah menjelaskan bagaimana Ia memperlakukan Anda’.” (HR Ahmad)
Bunyi ayat 1-2 surat al-Fath adalah sebagai berikut:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ، لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًا
Artinya: “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukan jalan yang lurus.”
Ketika ayat itu dibacakan Nabi kepada Sahabatnya, respons yang didapatkan justru agak menyudutkan. Salah seorang Sahabat menyergah Nabi dengan pertanyaan, “Selamat wahai Rasulullah! Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan kepadamu perlakuan-Nya terhadapmu. Lalu, bagaimana perlakuan-Nya terhadap kami?” Seketika itu turunlah ayat 5 surat al-Fath sebagai berikut:
لِّیُدۡخِلَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ جَنَّـٰتࣲ تَجۡرِی مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِینَ فِیهَا وَیُكَفِّرَ عَنۡهُمۡ سَیِّـَٔاتِهِمۡۚ وَكَانَ ذَ ٰلِكَ عِندَ ٱللَّهِ فَوۡزًا عَظِیمࣰا .
Artinya: “Agar Dia masukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan Dia akan menghapus kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu menurut Allah suatu keuntungan yang besar.”
Wahyu ini memuaskan para Sahabat sehingga membuat suasana menjadi tenang. Para Sahabat merasa bahwa mereka tidak diabaikan oleh Allah. Keimanan mereka pun semakin bertambah.
Perjanjian Hudaibiyah yang dinilai berpihak pada orang-orang Quraisy Makkah, sementara dinyatakan oleh Allah sebagai kemenangan di pihak Rasul, menyimpan banyak hikmah. Kerendahan hati Nabi Muhammad melahirkan simpati yang sangat dalam dari masyarakat luas. Masyarakat berbondong-bondong menyatakan iman dan mendukung misi Nabi Muhammad.
Ketika orang Islam yang melanggar perjanjian tidak dikembalikan pada pihak kaum Muslimin di Madinah, mereka justru menjadi juru dakwah yang memikat perhatian orang-orang Quraisy untuk mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Demikian pula halnya, bagi orang-orang Quraisy yang melakukan pelanggaran dalan Perjanjian Hudaibiyah yang ditangkap orang Islam dan dikembalikan pada orang Quraisy, mereka juga menjadi rujukan konsultasi terkait dengan perlakukan umat Islam terhadapnya. Berita kebaikan umat Islam kepada orang-orang Quraisy tersebut semakin menarik hati banyak orang untuk beriman dan masuk Islam.
Pelaksanaan Haji Akbar
Sekalipun terdapat larangan berhaji hingga sepuluh tahun ke depan, namun pelaksanaan umrah masih bisa dilaksanakan. Pelaksanaan umrah di tahun ketujuh mendapat respons yang signifikan dari orang-orang Quraisy untuk masuk Islam secara massif. Di tahun kedelapan, Allah sudah mendeklarasikan sebagai Tahun Kemenangan (Fathu Makkah). Surat al-Fath adalah surat nomor urut ke-48. Angka 8 di belakang bisa digunakan sebagai pengingat bahwa Fathu Makkah terjadi pada tahuan ke-8 Hijriah. Sedang angka 4 menunjukkan rentang tahun antara Perjanjian Hudaibiyah dengan pelaksanaan haji akbar. Perlu diingat bahwa sekalipun dalam Perjanjian Hudaibiyah dinyatakan bahwa umat Islam tidak boleh melaksanakan haji selama sepuluh tahun, tetapi umat Islam sudah bisa melaksanakan haji di tahun kesepuluh, yang itu berarti hanya empat (4) tahun setelah perjanjian.
Inti haji akbar yang dilaksanakan oleh umat Islam pada tahun ke-10 Hijriah adalah pembatalan Penjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak. Haji akbar dilaksanakan dengan sepenuhnya terbebas dari tindakan syirik dan ketelanjangan dalam bertawaf mengelilingi ka’bah. Ini tercermin dalam at-Taubah ayat 3:
وَاَذَانٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖٓ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْاَكْبَرِ اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلُهٗۗ فَاِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى اللّٰهِۗ وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Artinya: “Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”
Ibadah haji yang perintahnya bermula dari wahyu yang datang melalui mimpi pada akhirnya benar-benar bisa terlaksana dengan sempurna sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Fath ayat 28:
لَقَدْ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِالْحَقِّۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَۗ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذٰلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا
Artinya: “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.”
Kesuksesan dan kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji di tahun ke-10 Hijriah juga menandakan kekalahan orang kafir dan kesempurnaan ajaran Islam, sebagaimana firman Allah di penghujung surat al-Maidah ayat 3:
اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Sejarah haji memberi pelajaran bagi kita bahwa kesempurnaan ajaran Islam yang dipungkasi dengan kesempurnaan pelaksanaan Ibadah haji adalah sebuah proses panjang sebuah perjuangan menegakkan kebenaran. Diawali dengan penguatan tauhid dan ibadah shalat pada periode Makkah selama kurun waktu kurang lebih tiga belas, penetapan syariat zakat dan puasa di tahun kedua Hijriah, perintah ibadah haji di permulaan tahun keenam Hijriah, akhirnya seluruh rukun Islam tersempurnakan melalui pelaksanaan haji di tahun kesepuluh Hijriah. Haji yang dilaksanakan Nabi ini dikenal sebagai haji wada’ atau haji terakhir. Nabi Muhammad hanya sekali melaksanakan haji dengan wuquf di Arafah yang jatuh hari Jumat. Hari raya akbar atau hari raya Idul Qurban jatuh pada hari Sabtunya. Karena itu, sesungguhnya istilah “haji akbar” adalah sebutan yang digunakan untuk menyebut pelaksanaan wukuf di Arafah dan Hari Raya Kurban, karena pelaksanaan haji tahun kesepuluh Hijriah yang dilaksanakan Nabi Muhammad benar-benar terbebas dari perbuatan syirik.
Sekitar delapan puluh satu hari sepulang melaksanakan ibadah haji, Baginda Rasul berpulang ke hadirat Allah, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun kesebelas Hijriah. Hal ini terrekam dalam surat al-Baqarah ayat 281:
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِۗ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَࣖ
Artinya: “Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).”
Sejarah pensyariatan haji sesungguhnya adalah sejarah perjuangan Nabi Muhammad dan tahap-tahap bagaimana syariat Islam disempurnakan. Sejarah bisa haji hanyalah peristiwa di masa lalu. Namun, sejarah akan menjadi roh perjuangan bagi siapa saja yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran di baliknya. Semoga kita menjadi insan yang mampu mengambil hikmah di balik perjuangan Nabi dalam menunaikan haji sehingga kita menjadi manusia yang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu a`lam bi al-sawab.
Aswadi Syuhadak, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Konsultan Ibadah Haji Di Arab Saudi