Fakta Sebenarnya Ayah dan Ibunda Rasulullah SAW
Pembahasan Dzakhair Muhammadiyah karya Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani, artikel sebelumnya adalah Seputar Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga juru tulis Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Kali ini pembahasana adalah fakta yang sebenarnya mengenai Ayah dan Ibunda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut terjemahannya :
Fakta sebenarnya mengenai apa yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah tentang hak ayah bunda al-Musthafa (sosok nabi terpilih) shallallahu ‘alaihi wasallam. dan keterangan rujuknya Mulla Ali al-Qari terhadap pendapatnya tentang ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syeikh Musthafa al-Hamami telah menulis mengenai hal itu dalam (majalah) an-Nahdlah al-Ishlahiyah yang ringkasannya adalah:
Tampak ada satu risalah yang dinisbatkan kepada Syeikh Mulla Ali al-Qari dengan judul “Dalil-dalil keyakinan Imam Abu Hanifah mengenai ayah bunda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dia (al-Qari) bicara di dalamnya tentang kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. suatu pembicaraan yang seharusnya dia tidak membicarakannya, karena pembicaraan ini menyakiti hadirat penghulu alam, baginda kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan adalah suatu kemungkaran yang besar jika dia sampai menyakiti hadirat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnu Abid Dunya dan Ibnu Asakir meriwayatkan bahwasanya Durrah binti Abu Lahab lewat berjumpa seseorang, lalu orang itu berkata, “Ini puteri musuh Allah, Abu Lahab.” Durrah lalu menuju ke arahnya dan berkata, “Allah menyebut ayahku karena nasab dan kemuliaannya, sedang Dia tidak menyebut ayahmu karena kebodohannya.” Kemudian Durrah menuturkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau lalu berkhutbah dan bersabda, “Tidaklah boleh orang muslim disakiti disebabkan orang kafir.” Hadits ini bermakna, janganlah kamu menyebut orang-orang kafir dengan sebutan yang membuat orang mukmin benci dan merasa sakit dari sebutan itu.
Orang mukmin tidak jarang harus bersikap memuliakan pada tingkat dia tidak menampakkan kepada kerabat-kerabat mukmin lainnya yang kafir suatu penampakan yang membuatnya sakit dan marah. Jika hal ini berlaku pada setiap orang mukmin pada keluarganya yang kafir, maka terlebih lagi haruslah diperhatikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adab Islam (mengajarkan) hendaknya (seseorang) tidak menyebut keluarga beliau yang telah meninggal secara kafir, dengan suatu sebutan yang tidak pantas dengan kekerabatan beliau. Bagaimana dengan ayah bunda beliau yang mulia lagi agung?
Ibnu Marduyah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Ammar bin Yasir –semoga Allah meridlai mereka semua- bahwasanya mereka berkata, “Durrah binti Abu Lahab tiba sebagai seorang yang hijrah. Wanita-wanita lalu berujar kepadanya, “Kamu Durrah binti Abu Lahab yang Allah berfirman tentangnya, “Celakalah kedua tangan Abu Lahab.” Durrah lalu menuturkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ceramah dan bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ مَا لِي أُوْذِىَ فِى أَهْلِيْ ، فَوَ اللهِ إِنَّ شَفَاعَتِي لَتُنَالُ بِقَرَابَتِي حَتَّى إِنَّ حَكَمًا وَحَاءَ وَصَدَا وَسَلْبَهَا تَنَالُهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقَرَابَتِيْ
Wahai manusia. Ada apa aku disakiti di dalam keluargaku. Demi Allah, sesungguhnya syafaatku akan mengena pada kerabatku, hingga Hakam, Ha’, Shada, dan Salbaha (nama-nama kabilah) akan dapat meraih syafaatku pada hari kiamat disebabkan kekerabatanku.
Hadits ini merupakan nash yang sesuai dengan topik ini. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. memperhatikan terhadap masalah menyebut paman beliau, Abu Lahab, dengan sebutan (yang menyakitkan), sehingga beliau bangkit berkhutbah di antara manusia, melarang mereka dari hal seperti itu, dengan sabda beliau: “Wahai manusia. Ada apa aku disakiti di dalam keluargaku.”
Jika kemarahan beliau ini dikarenakan Abu Lahab, sedang ia telah mati dalam keadaan kafir secara pasti, maka bagaimana kemurkaan beliau dikarenakan ayah bundanya yang mulia lagi agung, sedang keduanya meninggal atas fitrah? Sebagaimana pembicaraan mengenai hal itu akan diulas nanti. Insya’allah.
Sesungguhnya kemurkaan beliau pastilah besar atas orang yang mengisyaratkan, dengan isyarat apapun, yang merendahkan hadirat ayah bunda beliau yang keduanya telah dimuliakan oleh Allah dengan kemuliaan yang tidak tertandingi, yaitu melahirkan penghulu alam dan intisari makhluk.
Tidak diragukan lagi, pelaku hal itu hanya akan mengantarkan dirinya terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Karena Tuhan kita telah berfirman dalam Kitab-Nya,
Tidak diragukan lagi, pelaku hal itu hanya akan mengantarkan dirinya terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Karena Tuhan kita telah berfirman dalam Kitab-Nya,
إِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِيْنًا
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. al-Ahzab: 57).
Dan mari kita berpindah dari ini kepada pembicaraan mengenai masalah ini. Kami katakan: Termasuk suatu kedustaan yang keji terhadap Imam terbesar Abu Hanifah an-Nu’man jika dinisbatkan kepadanya bahwa dia meyakini sesungguhnya ayah bunda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. tidak selamat pada hari kiamat.
Bahkan, keduanya bersama dengan orang-orang kafir di neraka Jahannam kekal abadi di dalamnya. Iya, itu merupakan kebohongan yang besar atas imam yang agung ini. Jikalau begitu, termasuk berita bohong adalah memberi judul risalah tersebut dengan judul: “Dalil-dalil keyakinan Imam Abu Hanifah mengenai ayah bunda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.” Sementara keyakinannya adalah bahwa keduanya kafir.
Jika pembaca berkata: Sesungguhnya Mulla Ali al-Qari menukil pada awal risalah ini: bahwa hal ini diucapkan oleh Imam Abu Hanifah dalam kitabnya, al-Fiqh al-Akbar, dengan redaksi: “Dan kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mati di atas kekufuran.” Jika ini ucapannya dalam kitabnya yang dinisbatkan kepadanya, maka bagaimana engkau menyebutnya sebagai kebohongan yang besar?”
Aku katakan: Sesungguhnya yang diucapkan oleh sang tokoh dalam al-Fiqh al-Akbar tidaklah seperti apa yang disebut itu. Akan tetapi, yang diucapkannya adalah redaksi, “Dan kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mati di atas fitrah, dan Abu Thalib mati secara kafir.” Ini yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri dalam al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah.
Aku katakan: Sesungguhnya yang diucapkan oleh sang tokoh dalam al-Fiqh al-Akbar tidaklah seperti apa yang disebut itu. Akan tetapi, yang diucapkannya adalah redaksi, “Dan kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mati di atas fitrah, dan Abu Thalib mati secara kafir.” Ini yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri dalam al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah.
Aku melihatnya pada salinan naskah di perpustakaan Syeikhul Islam di kota Madinah Munawwarah –Seutama-utama shalawat dan salam semoga terlimpah kepada penghuni kota itu-, di mana penulisan kitab itu merujuk kepada masa yang jauh, sehingga orang-orang yang arif di sana berkata kepadaku, “Sesungguhnya naskah ini ditulis pada zaman Abbasiyah.” Dan naskah ini ada di balik kumpulan bernomor 330 dari bagian kumpulan-kumpulan di perpustakaan itu. Siapa yang ingin melihat naskah ini dari al-Fiqh al-Akbar dengan mata kepalanya sendiri, dia bisa datang ke perpustakaan itu.
Dia akan menemuinya di sanama dengan redaksi yang kami nukil di sini. Pembaca tidak bisa menduga bahwa penglihatanku ini merujuk kepada masa yang jauh. Dia tidak boleh menduga ini. Dia harus kokoh. Sesungguhnya penglihatanku terjadi pada musim haji yang lalu (tahun 1354 hijriyah), sedang waktu aku menulis ini pada hari kamis, 4 Jumadil Ula 1455 hijriyah. Antara aku melihat di perpustakaan dengan antara aku menulis ini terpaut 5 bulan 15 hari. Karena aku dulu berada di kota Madinah hingga awal-awal bulan Dzulhijjah tahun ‘54 hijriyah.
Barangsiapa merenung niscaya mendapati bahwa salinan yang ada pada naskah Mulla Ali al-Qari terdapat di dalamnya dua petaka.
Petaka pertama, dia berbohong, bertentangan dengan naskah lama, yang telah disebutkan sebelumnya.
Petaka kedua, sesungguhnya penggelapan merasukinya. Orang yang membaca “Dan Abu Thalib mati dalam keadaan kafir” setelah redaksi yang dinukil oleh Mulla Ali al-Qari, dia akan berkata menyanggah seketika: “Jikalau kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. meninggal di atas kekufuran, dan Abu Thalib juga begitu, maka ucapan yang tepat mestinya berbunyi: “Dan kedua orangtua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. dan Abu Thalib meninggal dalam keadaan kafir.” Bukan dengan menyebut kufurnya kedua orangtua beliau secara sendiri, sedang kufurnya Abu Thalib disebutkan setelahnya, juga secari sendiri.
Adapun naskah kami ini, jelas sekali. Di dalamnya tidak ada menyendirikan kufurnya Abu Thalib. Karena sesungguhnya dua hukum pada saat itu berbeda. Disebutkanlah apa yang merekam keimanan kedua orangtua beliau, kemudian disusul redaksi tentang kufurnya Abu Thalib.
Pembaca bisa jadi bergegas hati bahwa lafadz ‘kufur’ yang dinukil oleh Mulla Ali diubah/dibelokkan dari lafadz ‘fitrah’ yang ada pada naskah kami yang telah kami peringatkan kepadamu dan kami menukilnya ini untukmu darinya. Sesunggunhnya kedua lafadz antara keduanya ada kedekatan yang tampak. Dan apakah penggelapan (tahrif) itu disengaja? Sesungguhnya membuang hukum atas Abu Thalib mengatakan hal itu. Kami mengatakan ini dan kami tidak tahu apakah pembuatan ini dari penulis atau dari penerbit?
Dan risalah ini batil sejak dari asalnya, karena pemiliknya telah merujuk (mencabut) dari apa yang dia tulis pada risalah itu, seperti ditulisnya pada syarahnya atas kitab asy-Syifa karya Qadli Iyad. Dan ucapannya ini terdapat pada 2 tempat dari syarah tersebut.
Tempat pertama halaman 601 dan tempat kedua halaman 648 dari cetakan Istambul yang terbit tahun 1316 H. Pada tempat pertama, penulis asy-Syifa menuturkan: “Abu Thalib berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. yang memboncengnya di Dzil Majaz: Aku haus dan aku tidak memiliki air. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. lalu turun dan memukulkan telapak kakinya pada bumi, lalu keluarlah air. Kata beliau, “Minumlah!” Mulla Ali Qari berkata setelah ini dengan redaksi, “Ad-Dulaji berkata: yang jelas hal ini terjadi sebelum masa kenabian, sehingga termasuk irhas (mukjizat yang diberikan sebelum diangkat sebagai nabi).
Dan bisa jadi di dalamnya ada petunjuk bahwa karamah ini akan tampak hasilnya, disebabkan keberkahan telapak kaki penghulu alam semesta, pada akhir zaman. Kurang lebih 1000 tahun ada sumber air di Arafah yang bersambung ke Makkah dan sekitarnya, disebabkan jejak-jejak keberkahan itu. Dan Abu Thalib belum valid keislamannya. Adapun keislaman ayah bunda beliau, ada beberapa pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling sahih adalah keislaman keduanya, sesuai dengan kesepakatan tokoh-tokoh ulama umat, seperti dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam 3 risalah susunannya.”
Adapun tempat kedua, Syeikh (rahimahullah) berkata di dalamnya, dengan redaksi, “Adapun mengenai apa yang mereka tuturkan tentang beliau menghidupkan ayah bunda beliau, maka pendapat yang sahih, bahwasanya hal itu benar terjadi, menurut pandangan ulama-ulama terpercaya dari kalangan Jumhur, sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi dalam 3 risalah yang dia susun.”
Dengan ini, cukuplah bagi kita, penyusun risalah sendiri, yaitu Syeikh Mulla Ali Qari, sebagai penyanggah, disebabkan rujuknya dia kembali kepada kebenaran. Demikianlah. Para ulama besar tidak menunggu kecuali rujuk (mengacu) kembali kepada kebenaran, jika mereka salah, kembali kepada Tuhannya jika durhaka, bersegera menuju kesempurnaan jika miring kepada kekurangan, dan bangkit menuju puncak jika jatuh, di dalam hal apapun yang lebih rendah daripada kedudukan yang tinggi itu.
Dan bukan ini saja dalil yang menunjukkan selamatnya kedua orangtua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, di sana ada jalur lain yang menunjukkan keselamatan keduanya –semoga Allah meridlai keduanya- bahwasanya keduanya meninggal pada masa fatrah (masa vakum kenabian) yang tidak ada di masa itu utusan Allah yang memberi peringatan orang-orang yang hidup pada masa itu, seraya mengajarkan kepada mereka apa kewajiban mereka terhadap Tuhan dan kewajiban antar sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Dan masa itu lama sekali.
Mereka semenjak masa Baginda Nabi Ismail bin Baginda Nabi Ibrahim tidak seorang rasul pun diutus kepada mereka. Jika demikian, keduanya orang yang memiliki uzur di sisi Tuhannya, tak ubahnya seperti orang-orang Arab lainnya yang berada di masa fatrah. Aku suka jika kamu menyimak firman Allah ta’ala,
يس ، وَالْقُرْآنِ الْحَكِيْمِ ، إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِْيْنَ ، عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ ، تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِ ، لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ ءَابَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُوْنَ
Yaa siin. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (Q.S. Yaasiin: 1-6).
Tidakkah kamu perhatikan firman-Nya, “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (Q.S. Yaasiin: 6).
Didapatkanlah alasan tentang kelalaian mereka dan jauhnya mereka melaksanakan kewajiban kepada Tuhan mereka, kewajiban yang sifatnya pangkal dan kewajiban yang sifatnya cabang, bahwa tidak datang pada bapak-bapak mereka pemberi peringatan yang menjadikan mereka tahu ada hak-hak bagi Sang Maha Pencipta yang harus diperhatikan dalam lahir dan batin mereka. Ketika bapak-bapak mereka demikian, maka tumbuhlah mereka menurut budaya bapak-bapak mereka, berupa meninggalkan berbagai kewajiban.
Dari ayat ini, kamu kiranya memahami adanya perbedaan yang besar antara seorang anak yang tumbuh di antara kedua orangtua yang shaleh atau di antara kedua orangtua yang fasiq. Anak pertama akan tumbuh dalam keadaan mengenal agama dan bersemangat mengikutinya seperti kedua orangtuanya, sedang anak kedua sebaliknya. Dari sini apa yang diceritakanoleh Tuhan kita mengenai kaum Sayyidah Maryam tatkala mereka berkata kepadanya sebelum jelas fakta sebenarnya bagi mereka,
يَا أُخْتَ هَارُوْنَ مَا كَانَ أَبُوْكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. (Q.S. Maryam: 28)
Yakni, mengherankan, kamu lakukan kemungkaran ini, sedang kedua orangtuamu dulu bukanlah ahlinya.
Dan tidak adanya adzab terhadap orang-orang Arab itu (orang-orang yang hidup pada masa fatrah), diterangkan secara jelas oleh firman Allah ta’ala,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Q.S. al-Israa’: 15)
Tuhan menyatakan, “Aku tidak akan mengadzab seorang hamba-Ku disebabkan dia meninggalkan kewajiban apapun baik pangkal maupun cabang, jika dia berada jauh dari masa Rasul, syariat-syariat terdahulu mengalami perubahan, dan Aku belum mengutus kepada seorang rasul yang mengingatkan dan memberikan pemahaman bahwa apa yang ditinggalkannya itu tidaklah boleh ditinggalkan,” karena mengadzabnya saat itu dalam pandangan-Nya dilakukan tanpa adanya pelanggaran. Tuhan kita Yang Maha Pemutus lagi Maha Adil tidak akan mengadzab atas bukan pelanggaran selamanya, sedang kedua ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
seperti orang-orang yang berada di masanya, tidak ada pada zaman mereka syariat-syariat yang tidak mengalami perubahan, tidak pula ada rasul, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. diutus dengan membawa syariat pasca meninggalnya keduanya dalam jarak waktu yang lama. Ayahanda beliau wafat, ketika beliau berada dalam kandungan ibundanya.
Adapun sang ibunda, ia wafat ketika beliau berada pada fase pertama kehidupan beliau yang mulia atau lebih sedikit. Jika demikian, kedua orangtua beliau selamat. Allah ta’ala tidak mengadzab keduanya, seperti teman-temannya yang hidup di masa fatrah. Kebanyakan ulama umat berpandangan demikian.
Bisa jadi kamu berkata, “Ada beberapa hadits menerangkan bahwa sebagian orang yang hidup di masa fatrah disiksa, maka orang yang tersisa dikiaskan dengan sebagian (yang disiksa) itu.”
Kami katakan, “Hadits-hadits itu tidaklah terangkat dari derajat hadits-hadits Ahad. Dan adakah hadits-hadits Ahab itu berdiri di depan (menandingi) Kitab Allah ta’ala? Kiranya kamu cepat berkata: Tidak, kemudian tidak. Dan mungkin kamu katakan: “Menurut keharusan gambaran kontradiksi.” Tidak ada kontradiksi sama sekali. Hadits-hadits itu berdiri pada orang-orang yang kamu sebutkan karena ada pengertian-pengertian pada mereka yang menjadikan mereka layak masuk neraka. Jika demikian, bagaimana kias bisa sah sementara tidak ada kias pada hal semacam ini? Dan bisa jadi kamu katakan: “Ada keterangan yang menyebutkan bahwa kedua orangtua beliau disentuh siksa di dalam keimanannya!.”
Kami jawab, “Keterangan ini agaknya ada sebelum Allah ta’ala menghidupkan kembali keduanya untuk beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam., karena sesungguhnya peristiwa menghidupkan kembali itu ada dan tidak diragukan (menurut pendapat orang-orang besar kalangan umat. Mereka adalah jumhur ulama yang terpercaya, sebagaimana Mulla Ali Qari menyebut mereka). Jika demikian, bagaimana keimanan keduanya disentuh siksa setelah kembali dihidupkan ini? Dan jangan lupakan apa yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa ayat-ayat yang qath’i (tegas dan pasti) menunjukkan keduanya selamat.
Riwayat-riwayat Ahad itu tidaklah bisa menentangnya. Apalagi nilai riwayat-riwayat itu dibicarakan oleh para ulama dengan suatu pembicaraan yang menjadikanmu enggan menoleh kepadanya. Bagaimana tidak, sedang al-Hafidz as-Suyuthi sendiri memiliki 3 risalah dalam tema ini, sebagaimana ucapan Maulana Syeikh Mulla Ali Qari. Yang tepat hanyalah diucapkan bahwa Mulla Ali Qari telah mencabut kembali risalahnya.
Kita tidak tahu manakah di antara dua perkara ini yang paling belakangan, yang bisa dibuat patokan. Apakah risalah ini? Jika demikian, berarti Mulla Ali Qari telah mencabut kembali ucapan tentang selamatnya ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam., atau apakah yang diucapkannya pada syarah kitab asy-Syifa? Jika demikian, berarti dia telah mencabut ucapan bahwa kedua ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. itu termasuk orang kafir dan mengambil keputusan ucapan bahwa keduanya beriman. Dan pada saat kita bicarakan noktah ini, kami katakan:
Perkaranya jelas memperkirakan bahwa yang paling belakangan adalah ucapan (Mulla Ali Qari) dalam syarah asy-Syifa. Jika diperkirakan risalahlah yang belakangan, maka urusannya menjadi susah dicerna, sementara pembicara suatu topik biasanya melihat pandangannya itu dalam puncak kemudahan. Sesungguhnya syeikh menegaskan dalam syarahnya atas kitab asy-Syifa bahwa pendapat tentang keislaman ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. merupakan kesepakatan di antara ulama-ulama besar umat ini.
Pendapat inilah yang dianut oleh jumhur ulama yang terpercaya. Jika demikian, kalau dia mencabut pendapat ini berganti pendapat yang kedua yang dikandung dalam risalahnya, maka dia berarti menentang apa yang disepakati tokoh-tokoh besar dan apa yang dianut jumhur ulama yang terpercaya. Dan apa nilai dari suatu pendapat yang pemiliknya menentang ada yang telah disepakati ulama-ulama besar umat? Sebuah pendapat di satu sisi dan di sisi lain ada jumhur ulama yang terpercaya. Sesungguhnya jika demikian, maka dia benar-benar mencabut kebenaran dan mengatakan suatu kebatilan yang amat jelas sekali.
Jika hal ini kita padukan bahwa Abu Hanifah berkata, “Kedua orangtua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. meninggal di atas fitrah (yakni agama Islam), maka tidak benarlah (konyol-lah) pendapat Mulla Ali Qari. Dan di mana Mulla Ali Qari dibanding dengan Imam Terbesar itu? Sesungguhnya Mulla Ali tidak menulis risalahnya kecuali setelah ia melihat kalimat yang dibelokkan yang dinisbatkan kepada Sang Imam.
Ketika dia melihat kalimat yang dibelokkan itu, maka dia menulis apa yang dia tulis seraya bersandar dan berpedoman kepada Abu Hanifah. Jawaban mengenai ini telah dikemukakan sebelumnya. Prinsip kalimat itu telah mengalami pembelokan. Al-Alusi tela menuturkan, dan ia adalah salah satu imam salaf yang terpercaya, dalam tafsirnya pada firman-Nya,
وَتَقَلُّبَكَ فِى السَّاجِدِيْنَ
Dan perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. (Q.S. asy-Syuaraa’: 219)
“Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa ayah bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. beriman adalah pendapat sekian banyak ulama besar Ahlus Sunnah.” Kemudian dia berkata dengan redaksi, “Dan aku mengkhawatirkan kufur atas orang yang mengatakan tentang ayah bunda beliau dengan selain itu (tidak beriman) –termasuk Mulla Ali Qari dan semacamnya-.”
Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan demi Allah, beliau telah menjadi rahmat hingga bagi kedua paman beliau, yaitu Abu Thalib dan Abu Lahab, yang keduanya melihat beliau dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dakwah beliau dengan kedua telinganya, dan berketetapan hati atas kekufuran hingga keduanya meninggal.
Karena kekerabatan keduanya dengan beliau, sunnah nabawiyah datang memberitahukan bahwa Allah memberikan keringanan siksa selamanya pada orang pertama (Abu Thalib). Dan ada yang mengatakan: Orang kedua (Abu Lahab) juga mendapatkan keringanan di sebagian waktu. Bahkan, demi Allah, beliau menjadi rahmat bagi semua orang kafir yang mendustakannya terang-terangan. Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman mengenai mereka,
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. (Q.S. al-Anfaa: 33)
Jika demikian, bagaimana beliau tidak menjadi rahmat bagi kedua orangtua beliau, sedang keduanya meninggal atas fitrah, sebagaimana diyakini oleh Imam Terbesar (Abu Hanifah) dan jumhur ulama yang terpercaya?!”
Bersambung. . . .
Genrerating Link.... 15 seconds.
Your Link is Ready.