Arti Lebaran bagi KH Cholil Bisri
Lebaran atau hari raya Idul Fitri merupakan hari yang penuh berkah. Setiap Muslim dikembalikan ke kefitrian mereka, dalam arti suci kembali tanpa noda-noda dosa yang selama ini melumuri sekujur tubuh mereka.
Pada malam lebaran hingga shalat Idul Fitri tiba, seluruh umat Islam disunnahkan untuk mengumandangkan takbir sebanyak-banyaknya.
Hal ini sebagaimana digariskan Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185, “… Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”
Kumandang takbir, bukan semata melafalkan kalimat ‘Allahu Akbar’ dengan lantang tanpa arti apa-apa. Bacaan tersebut sarat akan makna yang mendalam, terlebih dalam momentum Idul Fitri.
KH M Cholil Bisri dalam tulisannya yang berjudul “Takbir” menegaskan bahwa takbir merupakan ungkapan untuk menunjukkan bahwa yang melantunkannya sangat kecil, sedangkan hanya Pemilik nama yang disebut itulah Yang Maha Besar.
Untuk menunjukkan kecilnya, Kiai Cholil menjelaskan bahwa manusia hanyalah bagian dari kampungnya; kampungnya hanya bagian dari daerah; daerah bagian dari wilayah; wilayah bagian dari Indonesia; Indonesia bagian dari Benua Asia; Asia bagian dari dunia; dan dunia hanyalah bagian kecil dari alam semesta yang Allah swt Yang Maha Besar ciptakan.
Karenanya, ayahanda Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf ini menegaskan bahwa rasa kebesaran yang selama ini muncul dalam diri manusia sehingga memongahkan sikap hanyalah asumsi yang keliru. Sebab, manusia itu kecil sekecil-kecilnya dan hanya Allah swt satu-satunya Zat Yang Maha Besar.
Selain itu, manusia juga bukan pemilik sebenarnya atas segala apa yang dinikmatinya, hatta badan sendiri. Semua merupakan titipan dan anugerah Allah swt Yang Maha Segalanya.
Karenanya, Kiai Cholil menegaskan bahwa kumandang “tahmid” yang beriringan dengan takbir pada malam Idul Fitri sejatinya merupakan bentuk pengakuan, bahwa segala apa yang ada pada diri manusia adalah milik-Nya.
Sementara itu, “tasbih” yang juga dilantunkan pada malam Idul Fitri merupakan bentuk pengakuan, bahwa hanya Allah swt Yang Maha Suci, manusia hanyalah makhluk kotor.
Untuk menyebut makhluk kotor, Kiai Cholil mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari wadah dari kotoran mengingat lubang-lubang tubuh tak pernah berhenti memproduksi kotoran.
Oleh karena itu, Kiai Cholil menyampaikan bahwa mestinya lebaran ditandai dengan merasa kecil, merasa kotor, dan merasa ketitipan atas segala kenikmatan yang Allah swt berikan. Dengan begitu, menurutnya, umat Islam dapat meraih hakikat lebaran, yakni kebebasan, tidak dibebani dengan dosa setelah usai berpuasa Ramadhan.
Hal ini tidak lain karena merayakan Idul Fitri dengan tidak melupakan asal kejadian diri dan kemanusiaannya sehingga tidak merasa besar, merasa benar, dan merasa tidak punya kesalahan.
Syakir NF, redaktur NU Online