Iklan

Bermaaf-maafan saat Lebaran dalam Pandangan Gus Mus


Bermaaf-maafan bukanlah perkara yang mudah bagi sebagian orang. Kalau hati sudah sakit, memohon atau memberi maaf memang jadi hal yang paling sulit.

Maaf sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V diartikan sebagai (1) pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; (2) ungkapan permintaan ampun atau penyesalan: dan (3) ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu.

Maaf dalam hal ini tentu menyangkut makna pertama dan kedua. Saat berlebaran, ber-idul fitri, orang-orang saling bermaaf-maafan, satu sama lain memohon dan memberikan maaf.

Memang, hubungan manusia dengan Allah swt telah dimaafkan seiring rampungnya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwa orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan kepada Allah swt, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Namun, hubungan antarmanusia tidak selesai dengan usainya puasa. Karenanya, lebaran menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk saling maaf dan memaafkan.

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri dalam tulisannya yang berjudul Idul Fitri “Atawa” Lebaran, menyebut bahwa dosa kepada sesama manusia lebih gawat dan sulit ketimbang dosa kepada Allah swt. Sebab, banyak jalan untuk bisa diampuni Allah swt, mulai dari beristighfar, bersembahyang, berpuasa, hingga berbuat baik.

Akan tetapi, dosa kepada manusia sulit untuk mencari jalan maafnya. Kesalahan yang tidak seberapa bisa menjadi petaka besar yang sulit untuk dimaafkan. Bahkan laku yang tak sengaja juga kerap tak mudah untuk dimaafkannya.

Oleh karena itu, Gus Mus, sapaan akrab KH Ahmad Mustofa Bisri, menegaskan bahwa lebaran atau Idul Fitri merupakan momentum atau waktu yang tepat untuk meminta dan/atau memberikan maaf. Sebab, menurutnya, dada orang di hari lebaran terasa lebih lapang. Bahkan orang paling keras sekali pun, dalam suasana lebaran, bisa mudah meminta maaf dan memaafkan. Mungkin, katanya, di hari lebaran, ada rasa plong karena lepas dari dosa-dosa kepada Allah swt sebagai hasil ketulusan berpuasa selama Ramadhan.

 

Oleh karena itu, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu menyampaikan bahwa manusia dan manusia lain perlu saling menghormati dan menghargai. Sebab, manusia tidak bisa mengandalkan amalan ibadah ritual saja, melainkan juga harus menjaga hubungan sosialnya.

Pasalnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bisa jadi orang merugi karena pahala amal ibadah ritualnya habis disebabkan banyak mencaci, menuduh, memukul, melukai, merampas hal, hingga berlaku sewenang-wenang. Bahkan, dosa orang yang menjadi korban atas perlakuan itu bisa juga ditimpakan kepadanya.

Karenanya, lebaran menjadi momentum penting bagi setiap Muslim untuk benar-benar lepas dari dosa dan kembali ke fitri. Apalagi tradisi lebaran di Indonesia sudah mendukung itu semua.

Syakir NF, Redaktur NU Online



SUMBER BERITA

Article Top Ads

Central Ads Article 1

Middle Ads Article 2

Article Bottom Ads