Tanpa Ta`dib dan Pendidikan Adab, Boarding School Ibarat Rumah Kost Belaka
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Hidayatullah.com | KITA dapat lebih mudah memacu prestasi anak di sekolah berasrama karena lingkungan yang terkendali sepenuhnya. Tetapi jika tidak memperoleh perhatian memadai, anak akan lebih mudah merasa bosan. Dia merasa tidak nyaman. Feel bad.
Merasa sekolah berasrama sebagai tempat yang buruk. Lebih-lebih jika iklim yang berkembang di kamar asrama maupun kelas tidak baik. Berprestasi terbebani, sedikit berkekurangan terpojokkan.
Sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, jika faktor yang paling menentukan kenyamanan emosi itu terabaikan, anak tidak betah di asrama. Lebih buruk lagi jika terdapat dua penguat; perundungan (bulliying) oleh senior maupun sebaya, terutama secara emosi, serta penguatan kebosanan berasrama. Kerapkali, perundungan secara emosi “lebih melumpuhkan” daripada gangguan secara fisik.
Yang saya maksud penguatan kebosanan berasrama ini adalah kecenderungan pembicaraan yang merangsang anak semakin tidak betah di pondok. Ini dapat kita ketahui dari pembicaraan langsung antar anak, maupun ungkapan anak di status Facebook mereka. Sampai ada istilah penjara suci atau istilah yang lebih buruk daripada itu.
Jika ini terjadi, sulit berharap anak akan menghayati dan bangga dengan prinsip-prinsip dien yang mereka terima. Paham, tapi tak menghayati. Inilah yang justru perlu kita khawatiri. Berpengetahuan luas tak meyakini dengan kuat justru dapat menjadi benih nifaq (kemunafikan). Na`uzubillahi min zaalik.
Maka, sekolah berasrama (pondok pesantren) harus benar-benar memperhatikan hal ini. Salah satu pilar penting mewujudkannya adalah Ta`dib (pendidikan adab). Ta`dib di awal masuk pesantren (sekolah berasrama) dan dikuati hingga lulus, menjadi landasan penting menumbuhkan iklim positif santri. Ta`dib inilah hal penting yang perlu kita perhatikan saat mencari sekolah berasrama (pesantren). Bukan semata prestasi akademik. Tanpa Ta`dib yang kuat, pesantren atau sekolah berasrama (boarding school) tak ubahnya sekadar tempat kost sangat besar yang dilengkapi sarana belajar. Tidak lebih.
Salah kesalahan asumsi umum yang belakangan muncul adalah, pemahaman itu penanda keyakinan. Padahal, kita telah melihat sangat banyak contoh, betapa pemahaman yang baik tidak sama dengan keimanan dan ketundukan kepada agama Allah Subhanahu Wa Ta`ala.
Tidakkah kita lupa bahwa mereka yang liberal dan menginjak-injak agama ini justru banyak yang memiliki pengetahuan luas tentang agama? Mereka fasih membaca kitab, luas pengetahuannya, tapi hampir-hampir tak ada iman di hatinya atau bahkan telah hilang sama sekali.
Menekankan pendidikan agama kepada pembelajaran secara kognitif dan menjadikannya sebagai tolok ukur penting, justru sangat tidak bersesuaian dengan tradisi keilmuan Islam. Menegakkan adab dulu sebelum memacu kemampuan kognitif murid.
Contoh heroik tentang pendidikan adab (ta`dib) adalah pengalaman Imam Ibnu Qasim rahimahullah, salah satu murid senior Imam Malik bin Anas rahimahullah. Mari renungi perkataan Imam Ibnu Qasim sebagaimana termaktub dalam Tanbihul Mughtarrin seraya memikirkan ulang arah pendidikan kita, ”Aku telah mengabdi kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Dari masa itu, 18 tahun aku mempelajari adab sedangkan sisanya 2 tahun untuk belajar ilmu.”
Inilah tradisi generasi awal Islam yang cemerlang; tradisi yang berakar pada bagusnya keyakinan dan ketaatan kepada dienul Islam ini. Inilah generasi yang tidak tergesa-gesa menjadikan anak segera tampak pandai, lalu fasih bertutur, padahal iman belum berakar di hati. Inilah masa ketika para ulama sangat berhati-hati. Mereka menguati fondasi terlebih dahulu sehingga saat belia, anak-anak justru haus ilmu.
Sungguh, tanpa pendidikan adab (ta`dib) yang baik, terlebih perhatian dan kedekatan hubungan guru-murid rendah, akan mudah berontak dari pesantren. Mereka merasa sekolah berasrama sebagai tempat pembuangan yang tidak menyenangkan, sehingga mencari pelarian-pelarian. Inilah yang mengkhawatirkan.
Meski demikian, yang paling perlu kita khawatiri bukanlah larinya mereka dari pesantren atau boarding school; baik secara fisik maupun pikiran serta hatinya saja yang lari dari pesantren. Yang lebih mengkhawatirkan justru jika mereka fasih bicara, bagus tutur katanya, tapi jelek amalnya, kosong imannya.
Apa yang perlu kita renungkan terkait pembicaraan kita saat ini? Betapa pentingnya meletakkan landasan iman dan adab yang kuat sebelum mengajarkan al-Qur’an kepada anak dan menghafalkannya. Iman dan adab merupakan dua hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Ia mendahului sekaligus tetap menyertai pembelajaran al-Qur’an hingga masa-masa berikutnya.
Menghafal tanpa memahami kandungan al-Qur’an, memahami tanpa meyakini dan meletakkan penghormatan yang sangat tinggi terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala, dapat menggelincirkan mereka ke dalam kerusakan yang sangat besar. Boleh jadi mereka hafal al-Qur’an, tetapi yang mereka yakini dengan sebenar-benar keyakinan bukanlah al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Dan ini merupakan petaka besar. Na’uzubillahi min zaalik.
Sebagai penutup, mari kita ingat firman Allah Ta’ala;
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS: An-Nahl [16]: 98).
Bahkan membaca al-Qur’an pun, kita diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala (isti’adzah) dari godaan setan. Maka, apakah kita mengira hafalan dan pemahaman saja telah cukup untuk menjadikan anak-anak kita di sekolah berasrama (boarding school) bagus wataknya serta kokoh imannya? Tidak cukup. Sungguh tidak cukup. Penentunya bukan pada luasnya pengetahuan kognitif. Apalagi jika pengetahuan pun pas-pasan.
Cobalah tengok sejenak anak-anak kita. Adakah mereka membawa semangat dan idealisme saat pulang? Ataukah masa dua minggu saja telah cukup untuk meruntuhkan apa yang disangkakan sebagai idealisme dan adab yang dibangun sekolah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun?
Ini anak kita; anak kandung atau pun anak-anak ideologis pelanjut perjuangan dakwah ini. Pikirkan!
Setiap anak yang diamanahkan kepada kita, di rumah maupun sekolah, menjadi tanggung jawab kita untuk mendidik mereka dengan sungguh-sungguh, membekali jiwa mereka dengan iman yang kuat dan berusaha sekuat tenaga menutup pintu-pintu kemunafikan agar kepandaian mereka tidak justru membawa kepada kekhawatiran Rasulullah ﷺ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth alaihis salam (homoseksual).” (HR. Tirmidzi no. 1457).
Nah. Wallahu a’lam.*
Kolumnis dan penulis buku parenting
Baca artikel parenting dan pendidikan adab lain di sini
Rep: Ahmad
Editor: –